Hutan bakau. Rawa gambut. Perlindungan lahan basah di Aceh
Aceh Wetland Foundation melindungi hutan bakau di pesisir timur Aceh, rawa gambut Tripa-Babahrot, dan ekosistem rawa Paya Nie
Ikhtisar proyek
Topik proyekHabitat / Manusia
Tujuan proyek Hentikan deforestasi; Pastikan hak masyarakat adat dan hutan; Ungkap kejahatan lingkungan
Kegiatan Advokasi, kampanye, riset, edukasi, informasi dan proyek-proyek perlawanan kejahatan lingkungan
Hutan bakau di pesisir Timur
Hutan bakau terdiri dari pohon dan semak dari berbagai spesies yang dapat bertahan hidup di air laut. Hutan bakau antara laut dan daratan menyerap air, bertindak sebagai benteng melawan badai dan erosi, dan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Sistem akarnya, yang menjulur keluar dari tanah berlumpur seperti panggung, menyediakan tempat berlindung bagi banyak spesies hewan. Tidak ada negara lain di dunia yang memiliki hutan bakau seluas Indonesia. Tapi deforestasi besar-besaran dimulai empat puluh tahun yang lalu.
„Meskipun kepentingan hutan bakau sangat diketahui“, ungkap Yusmadi Yusuf, Direktur Eksekutif Aceh Wetland Foundation, „puluhan ribu hektar mangrove menjadi gundul. Deforestasi hutan mangrove di Aceh dimulai sejak tahun 1982 oleh dua perusahaan yang memiliki izin HPH seluas 32.200 hektar - duapertiga dari seluruh luasan hutan bakau Aceh.“
„Dulu disebut kayu Jepang, karena kayu-kayu bakau dikirim ke Jepang,” ujar Teungku Tahee, Tokoh Masyarakat Adat di Desa Telaga Tujuh. Selanjutnya, aksi pengalihan fungsi untuk tambak konvensional dilakukan secara massif.
Aceh Wetland Foundation. Masyarakat adat. Ilmuwan. Wartawan
Aceh Wetland Foundation bertujuan untuk melestarikan lahan basah terakhir (hutan bakau, rawa gambut dan rawa) di provinsi Aceh dan untuk merenaturalisasi lahan yang telah rusak. Karena masih ada harapan. Misalnya, hutan adat Teulaga Tujuh aman dari jarahan. Karena menjadi benteng bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Pusong.
Mangrove Teulaga Tujuh kaya keanekaragaman hayati. „Rhizophora Mucronata sudah tumbuh subur sejak dua abad lalu,” ujar Dr. Rita Andini dari Badan Riset dan Ilmu Pengetahuan Nasional (BRIN) dalam penelitian dilakukan bersama dan Dr. Meutia Samira Ismet dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Perjuangan menentang pengalihan fungsi hutan mulai dikampanyekan mitra kami Aceh Wetland Foundation sejak tahun 2010. Bersama masyarakat lokal di pesisir timur Aceh, kami menguatkan peran masyarakat lokal/adat dalam penguasaan hutan.
Kedaulatan hak atas lahan dan hutan merupakan hak asasi manusia.
Seperti yang dilakukan di Desa Simpang Lhee, Langsa. Tim Ranger desa yang direkrut dari unsur pemuda desa bertugas menjaga hutan. Mereka rutin patroli menghalau perambah di wilayah hutan mereka.
„Tapi saat ini ada rencana kembali proyek yang berpotensi menenggelamkan hutan-hutan lindung mangrove Teulaga Tujuh itu dilanjutkan,” tambah Yusmadi.
Tahun 2011, aksi kolaborasi AWF, Walhi Aceh, dan Jaringan Advokasi Laut KuALA (Aceh) berhasil menggagalkan aksi pengerukan laut di perairan Langsa oleh PT. Starminera Prima Abadi.
Ribuan hektar hutan mangrove yang tersebar di tiga kabupaten, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Langsa masih terus menjadi incaran. Juga hutan lindung terancam. Banyak perusahaan broker karbon offset sedang mengincar hutan mangrove Aceh.
Hanya 10 Persen Hutan Gambut Tripa-Babahrot Tersisa
„Pemerintah kecolongan, perusahaan menguasai hampir seluruh kawasan hutan gambut Tripa-Babahrot. Sekarang yang tersisa hanya kemiskinan dan sengketa lahan tak berkesudahan,” ujar Kepala Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. „Tidak ada plasma, semua dikuasai perusahaan, dan sisanya hutan lindung, bagaimana kami tidak miskin,” ujar Kepala Desa Pulo Kruet.
Awalnya, hutan gambut Tripa-Babahrot yang kaya karbon dan terkenal sebagai habitat utama orangutan Sumatra, luasnya mencapai 60.657,29 hektar. Okupansi perusahaan perkebunan kelapa sawit telah menguasai lebih dari 90 persen hutan. „Sekarang hanya 5.000 hektar hutan gambut yang tersisa,” ujar Junaidi Hanafiah, jurnalis media lingkungan Mongabay.
Tahun 2012, tindakan gila dilakukan PT. Kallista Alam. Perusahaan ini hendak meluaskan perkebunan sawitnya dengan membakar 1.000 hektar hutan gambut. Pengadilan Negeri Meulaboh menjatuhkan hukuman kepada perusahaan ini membayar kompensasi senilai Rp 366 miliar yang terdiri dari biaya ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan. Proses eksekusi baru bisa berjalan pada di akhir tahun 2023. Padahal, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan banding sejak tahun 2015.
Mitra kami Aceh Wetland Foundation terus mengkampanyekan penegakan hukum atas kasus kejahatan lingkungan di Rawa Tripa-Babahrot. Bersama polisi hutan dan relawan kami aktif berpatroli di kawasan hutan yang dibakar.
„Ada banyak lahan baru yang di buka dalam kawasan lindung gambut eks Kallista Alam. Bahkan, papan informasi dari KPH dicabut,” ungkap Syukur Tadu, aktivis lingkungan di Nagan Raya.
Perjuangan menyelamatkan sisa hutan gambut Aceh harus terus berjalan. Tentu upaya ini membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat di dunia.
Masyarakat adat Paya Nie hidup dari hasil rawa
„Kami sudah menerbitkan aturan adat yang disepakati dua kemukiman (otoritas adat). Lahan rawa tidak boleh lagi dialihfungsi untuk pertanian dan perkebunan,” ujar Kepala Pemerintahan Mukim Teungku Chik Dimanyang, Said Fakhrurrazi. Aturan adat Paya Nie ini juga melarang aktivitas perburuan burung dan pengambilan ikan menggunakan alat setrum dan racun. Kesepakaran adat ini juga diakui oleh 9 kepala desa di sekitar rawa Paya Nie.
Masyarakat adat Paya Nie masih tetap berjuang. Ada banyak tantangan dan ancaman terhadap penegakan hukum adat. Salah satunya dari sisi kewenangan. Pemerintah enggan melepas kewenangan terhadap rawa Paya Nie.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera I Provinsi Aceh, menjadikan rawa Paya Nie sebagai proyek waduk penampungan air dari daerah aliran irigasi Seuke Pulot. Proyek besar ini berpotensi menghancurkan kandungan biodiversitas Paya Nie. Contoh tanaman kantong semar yang langka atau bahkan sudah punah ini menunjukkan betapa uniknya spesies Paya Nie. „Kantong semar langka tumbuh subur di sini,” ujar Dr. Cut Azizah, Direktur Program Pascasarjana Universitas Almuslim Bireuen.
Kini mitra kami Aceh Wetland Foundation sedang memetakan dan memasukkan wilayah adat Paya Nie untuk diakui sebagai suatu entitas wilayah adat. Negara perlu hadir menguatkan hak-hak rakyat atas lahannya. Dan kami menghijaukan kembali rawa-rawa yang rusak!
Buku “Pengelolaan Mangrove di Thailand, Malaysia dan Indonesia diterbitkan oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1985 memuat informasi cara pengelolaan mangrove. Menurut data FAO, Aceh memiliki 50.000 hektar hutan bakau.
dua perusahaan yang memiliki izin HPH seluas 32.200 hektar
PT. Bakau Selat Malaka yang memiliki izin konsesi seluas 20.000 hektar dan PT. Kalindi Langsa yang menguasai 12.000 hektar. Ada juga dua perusahaan izin konsesi hutan bakau lainnya di Aceh yaitu PT. Naridu dan PT. Inhutani III. Namun sayangnya, tidak ada data luas areal yang dikelola.
Ekspor pasir ke Singapura. https://www.tribunnews.com/regional/2010/05/08/presiden-belum-terbitkan-izin
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 103/MenLHK-II/2015 hanya 9.876,39 hektar luasan mangrove yang dilindungi. Rinciannya, di Aceh Timur [4.797,25 hektar], Aceh Tamiang [4.216,33 hektar], dan Kota Langsa [862,81 hektar].
Kantong semarKantong semar Nepenthes Rigidfolia termasuk dalam daftar hampir punah di IUCN Red List Of Threatened Species. https://www.iucnredlist.org/ja/species/49002226/49009927
Menurut Wikipedia, hanya ditemukan 24 spesimen tanaman langka ini di alam liar dan semuanya berada di luar taman nasional dan cagar alam.