Skip to main content
Cari
gunung yang gundul
Tak terbayangkan betapa brutalnya Toba Pulp Lestari menghancurkan hutan, sungai dan kehidupan masyarakat Batak. (© AMAN Tano Batak)

“Kami meminum racun setiap hari “ ­ Toba Pulp Lestari menghancurkan aliran kehidupan

4 Okt 2025Biaya untuk produk sekali pakai seperti kertas dan pakaian viskose sangatlah tinggi: hutan hujan hilang, habitat satwa yang terancam hilang, kehidupan masyarakat adat terganggu, hak atas lingkungan sehat hancur. AMAN Tano Batak melaporkan di sini tentang kasus deforestasi, pencemaran perairan dan pelanggaran hak masyarakat adat di Tapanuli Utara oleh perusahaan Toba Pulp Lestari.


Seluas 392,8 hektare hutan tangkapan air berubah menjadi kebun eukaliptus dan disepanjang sungai terdapat aktivitas perusahaan baru saja melakukan penebangan eukaliptus”.

Anda dapat membaca laporan lengkap AMAN Tano Batak dengan banyak foto di sini:

Sungai Aek Nalas Tercemar - Ribuan Warga Sipahutar Kehilangan Hak Atas Air Bersih

Tapanuli Utara - Sungai Aek Nalas, yang sejak lama menjadi urat nadi kehidupan warga di Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, kini berubah wajah. Air yang dulu jernih dan menyegarkan, kini keruh, berbau, dan debitnya terus menurun. Sungai yang mengalir dari Dolok Paung hingga ke Aek Napa ini menjadi sumber air minum PDAM dan kebutuhan warga di Kecamatan Sipahutar.

Namun kawasan hutan dihulu Sungai Aek Nalas dialihfungsikan menjadi perkebunan Eukaliptus milik PT. Toba Pulp Lestari (TPL), fungsi ekologis hutan hilang. Investigasi lapangan menemukan 392,8 hektare hutan tangkapan air berubah menjadi kebun Eukaliptus dan disepanjang sungai terdapat aktivitas perusahaan baru saja melakukan penebangan eukaliptus. Selain itu terdapat juga jejak alat berat membelah sungai Aek Nalas.

“Dulu, saat hutan masih terjaga, air tetap jernih dan kami tidak pernah kekurangan. Sekarang, hutan gundul, karena penebangan yang dilakukan PT. TPL, dan digantikan menjadi tanaman eukaliptus. Begitu hujan turun, air yang datang ke kampung kami ini, langsung berubah lumpur pekat, seperti bubur, tetapi ketika musim kemarau, air menguning dan berbau. Tidak layak untuk dikonsumsi”, ungkap Ompu Deo Simanjuntak (73) warga Desa Sabungan Nihuta IV.

Air Tercemar, Warga Bertahan dengan Resiko

Masyarakat mengaku kesulitan memperoleh air bersih. Mata air yang dulu bersih kini menjadi barang langka, menurut data PDAM pengguna Air Aek Nalas sebanyak 1.438 Kepala Keluarga atau sekitar 30.000 jiwa warga bergantung pada sumber air minum tersebut, namun air yang mengalir sama sekali tidak layak untuk digunakan.

“Kalau airnya direbus, tetap bau dan rasanya aneh. Pakaian anak sekolah cepat kusam, karena air tersebut digunakan untuk mencuci”, keluh Mak Pando Hutahean, seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari menggunakan air tersebut. Ditambahkannya “Anak-anak sering mengalami gatal-gatal, iritasi kulit, batuk berulang. Tidak ada pilihan lain, apalagi saat musim kemarau, kami tetap menggunakan air itu untuk minum, memasak, dan mandi” tambahnya.

Hutan Hilang, Sumber Penghidupan Pun Lenyap

Di bagian hulu sungai hingga ke bak penampungan terdapat aktivitas perusahaan yang baru saja melakukan penebangan dan sedang melakukan penanaman eukaliptus yang langsung dekat dengan sungai itu. Pepohonan kemenyaan yang dulu nya disepanjang sungai itu ikut hilang karena hutan ditebangi.

Kondisi sungai pun berubah drastis. Dulu, Ihan batak dan jenis ikan lainnya masih mudah ditemukan dan mudah ditangkap. Kini, sudah sangat sulit ditemukan keberadaan nya. Selain itu, terdapat juga alur anak sungai yang sudah mati.

“Ikan-ikan di sungai ikut hilang, kami menduga ini terjadi karena penggunaan herbisida dan pestisida yang dilakukan perusahaan untuk perawatan tanaman nya langsung di sekitar sungai,” ujar Juandra Simanjuntak, pemuda Sigalagala-Lobunauli.

Aktivitas Industri di Hulu

Warga menuturkan aktivitas alat berat PT. TPL juga sering terlihat sedang mencuci langsung di aliran sungai. Meski sudah ditegur berulang kali, praktik itu tetap berulang secara sembunyi-sembunyi.

Lebih jauh, penggunaan bahan kimia disekitar areal tanam PT. TPL juga menjadi momok tersendiri. Warga menduga setiap musim penghujan, air membawa sisa herbisida dan pestisida itu langsung ke sungai, “Kami meminum racun setiap hari,” ujar Oper Simanjuntak, tokoh masyarakat Dusun Sigalagala-Lobunauli.

Pertanian dan Kehidupan Terganggu 

Selain petani kemenyaan (kemenyan), di sekitar perkampungan warga juga mengandalkan kebun sebagai sumber penghidupannya. Tanaman utama mereka adalah; padi, jagung, kopi, nenas, tanaman sayur-sayuran, dan tanaman berbuah menjadi penopang ekonomi keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, hasil panen menurun drastis. Ladang padi yang biasanya mampu mencukupi kebutuhan setahun kini hanya mampu memenuhi 6-8 bulan saja. Penurunan hasil panen diperkirakan mencapai 40 persen dalam lima tahun terakhir karena terserang hama dan menurunnya kesuburan tanah.

“Kami hidup dari kebun, tetapi sekarang air susah didapatkan karena banyak sumber air yang mati, hutan rusak, sungai tercemar. Semua ini saling terkait,” ujar Oper.

Tanggapan Pemerintah 

Pemerintah daerah dan sejumlah institusi resmi telah merespon kekhawatiran warga. Direktur PDAM menyatakan benar adanya dugaan pencemaran pada aliran Sungai Aek Nalas; Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Utara sudah melakukan uji sampel yang menyimpulkan bahwa kualitas air tidak lagi higenis. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara pada November tahun 2020 sudah pernah mendesak PT. TPL mengambil langkah mitigasi - antara lain menjaga jarak tanam minimal dari pinggir sungai kurang lebih 50 meter, membuat parit penampungan rembesan, serta menyediakan fasilitas instalasi pengolahan air untuk PDAM – sebagai upaya menjaga kualitas pasokan air.

Namun, kenyataan dilapangan hal tersebut tidak pernah dilakukan. Di sisi legislatif, DPRD Tapanuli Utara juga telah melakukan kunjungan pada bulan Juni 2025 langsung ke sumber air minum yang dimaksud, namun hingga kini belum ada hasil yang dilihat masyarakat pasca kunjungan itu.

Harapan dari Masyarakat 

Bagi warga sungai Aek Nalas merupakan sumber air kehidupan dan identitas mereka. Kini sungai itu menjadi simbol konflik antara kebutuhan dasar masyarakat dengan kepentingan industri.

“Kami hanya ingin air kami bersih seperti sebelumnya, tidak lebih dari situ. Tetapi kalau perusahaan masih tetap mengolah sekitar sungai itu, dengan menanami eukaliptus, tanpa peduli dampak buruk yang kami rasakan, lalu kami harus minum apa?” tanya Oper Simanjuntak.

Masyarakat Sipahutar terlebih pengguna sungai Aek Nalas mendesak pemerintah daerah, kementerian terkait, hingga aparat penegak hukum untuk segera melakukan tindakan nyata guna menjamin hak atas air bersih dan lingkungan yang sehat.


Penulis: Maruli Simanjuntak (Informasi dan Komunikasi AMAN Tano Batak)

Editor: Hengky Manalu (Biro Organisasi AMAN Tano Batak)

Petisi aktual, latar belakang dan informasi lanjutan

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!