Keragaman Pangan Na-Afsya

Meja dengan beberapa mangkok penuh dengan makanan bersama perempuan Afsya © Pusaka Perempuan Afsya dengan pilihan sayur © Pusaka Perempuan Afsya dengan noken © Pusaka

5 Feb 2025

Masyarakat adat Afsya di Sorong Selatan menemukan pangan yang kaya di alam, di hutan, sungai, dan rawa-rawa. Dalam artikel ini, dua perempuan muda berbicara tentang pengalaman tentang pangan Na-Afsya yang terancam oleh masuknya perusahaan yang akan menghancurkan alam

Na-Afsya adalah panggilan yang digunakan oleh sekelompok masyarakat suku Afsya untuk menyebut mereka sendiri. Mereka adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah yang berlantaikan pasir putih di sekitar kali Sagun dan Kali Semor di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya. Wilayah ini juga dikenal dengan sebagai Kindi Menye (kindi berarti pasir dan menye berarti banyak) karena memiliki hamparan pasir putih yang cukup luas. Wilayah ini dikelilingi hutan, rawa, sumber air dan kebun yang telah digunakan secara turun temurun. Ketergantungan Na-Afsya terhadap hutan dan alam sekitarnya ini terlihat jelas dalam pengetahuan pangan dan pengolahannya yang beragam. Meski saat ini banyak masyarakat juga membeli beberapa bahan-bahan pangan di pasar seperti garam, MSG, minyak dan beras.

Ketika kami datang, kami berjanji untuk bertemu dengan mama-mama di lokasi dapur umum di kampung untuk memasak bersama masakan khas Afsya. Mama-mama dengan sangat antusias mendatangi dapur umum membawa beberapa ikat sayur yang mereka kumpulkan dari kebun masing-masing dan sebagian lainnya mengumpulkan sayur-sayur pakis merah yang hidup liar di sekitar hutan dan kebun. Pucuk daun pakis merah (Qhandar, Stenochlaena palustris) diambil karena tekstur daunnya masih lembek dan tidak terasa pahit ketika dimakan. Bersama dengan sayur pakis merah, mama-mama juga membawa sayur gedi (Rambat, Abelmoschus manihot) yang menjadi salah satu sayur yang sangat digemari oleh Na-Afsya.

 

Mama-mama lainnya kemudian datang dan membawa beberapa potongan bambu (Hodo Toqoin, jenis bambu yang memiliki ruas buku panjang dan dinding bambu tebal) yang secara turun temurun mereka gunakan sebagai media memasak tradisional mereka. Kelompok mama-mama lainnya telah membagi tugas untuk menyiapkan panganan lainnya. Ada yang telah siap menguliti petatas (Ipomea batatas), dan keladi (Ka, Colocasia esculenta) sebagai sumber karbohidrat untuk kami santap. Kelompok lainnya membersihkan sebagian daging babi (Qoruk, Sus sp.) hasil berburu semalam lalu memotong dadu daging babi.

Selepas daun-daun pakis dan gedi dipetik dari tangkainya mama-mama kemudian menggulung sayur-sayur tersebut kemudian dimasukan kedalam bambu yang telah mereka bersihkan. Begitupun petatas dan keladi serta daging babi yang telah dipotong-potong sedemikian rupa untuk dimasukan ke dalam bambu. Bambu untuk memasak sayuran berbeda dengan bambu yang digunakan untuk memasak petatas, keladi dan daging tetapi seluruh bambu tersebut kemudian disumbat menggunakan dedaunan terlebih khusus daun Omus ogut agar uap dari dalam bambu tidak keluar dan daun tersebut juga berfungsi untuk memberi aroma pada makanan. Bambu-bambu yang sudah siap kemudian diletakan di atas tungku api dengan kemiringan tertentu.

Sembari menunggu, kami bersama mama-mama lainnya mempersiapkan garam alami khas Na-Afsya yang berasal dari pelepah daun nipah (Mbren, Nypa fruticans). Seorang mama kemudian membelah pelepah nipah lalu serat-serat pelepah tersebut kami pisahkan menjadi beberapa “helaian” yang kemudian dikumpulkan lalu diikat. Ikatan serat nipah tersebut kemudian dibakar di atas bara api hingga merah membara barulah dapat diangkat. Bara nipah yang memerah kemudian berubah menjadi arang yang akan mudah dihaluskan. Kami mengumpulkan beberapa gulungan nipah untuk mendapatkan nipah yang cukup banyak untuk kami makan bersama.

Bambu-bambu yang berisi sayur, petatas, keladi dan daging babi dibakar dan secara terus menerus dalam waktu tertentu harus dibolak-balik agar panasnya merata ke semua bagian bambu. Ketika bambu sudah semakin mengerut dan terbakar barulah mama-mama memindahkannya dari tungku api untuk didiamkan beberapa saat. Selepas bambu tersebut menjadi dingin, bambu-bambu dibelah untuk kemudian diambil isinya. Mama-mama kemudian mengambil dan mengumpulkan bahan makanan tersebut pada piring dan baskom yang telah dipersiapkan.

Setelah semuanya telah tersedia, kami mengambil bagian kami masing-masing. Dalam tiap piring makan kami tersaji sayur, petatas atau keladi dan daging babi serta bubuk garam hitam alami. Seluruh makanan yang dimasak di dalam bambu tidak memiliki rasa sehingga untuk mendapatkan rasa asin kami masing-masing mencocol tiap makanan tersebut ke serbuk garam hitam tersebut. Garam hitam memiliki tekstur yang lebih halus, berbau khas dan rasa asin yang tidak sekuat garam kios.

 

Bagi Na-Afsya penyebutan garam tentunya adalah sebutan yang baru, bubuk arang hitam berasa asin yang dihasilkan pohon nipah ini juga disebut sebagai mbren dalam bahasa Afsya, nama yang sama yang mereka gunakan untuk menyebut pohon nipah. Tetapi mereka juga membedakan garam tradisional mereka dan garam kios yang biasanya kita konsumsi sehari-hari. Mereka menyebut garam kios itu sebagai kindim yang juga berarti pasir putih.

Ini semua hanyalah sebagian kecil dari keberagaman pangan Na-Afsya, kita bahkan belum membicarakan hasil-hasil sungai dan laut, buah-buahan, dan sayuran yang lain yang masih mereka dapatkan. Pangan-pangan ini adalah lumbung pangan alami. Ketika harga pangan dari pasar meningkat (meningkat di hari-hari penting keagamaan atau akibat inflasi), masyarakat tidak selalu khawatir karena masih banyak tumbuhan dan hewan yang masih bisa mereka andalkan dari alam. Ancaman masuknya perusahaan yang akan menghancurkan alam atau yang akan menghilangkan akses Na Afsya di wilayahnya jelas menakutkan, karena hilangnya alam berarti hilangnya keberagaman pangan, terutama mengancam cadangan pangan mereka.

Penulis: Amelia Puhili & Natasha Devanand Dhanwani, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!