Sarang si Tapak Merah di balik ancaman tambang
19 Nov 2024
Tanaman gambir dan lainnya menyejahterakan masyarakat Dairi. Bentuk pengelolaan hutan dan kebun dengan kearifan lokal juga mencegah krisis iklim. Namun pertambangan seng mengancam kehidupan manusia dan alam.
Dalam artikel ini, Walhi Sumatra Utara melaporkan pentingnya gambir bagi perekonomian masyarakat Dairi dan bagi keseimbangan alam. Namun sejak lebih dari 20 tahun, PT Dairi Prima Mineral (DPM) menambang seng, menebang hutan alam dan merusak budidaya gambir. Walhi Sumatra Utara juga melaporkan bagaimana pertambangan seng merusak alam, memperparah krisis iklim dan memiskinkan masyarakat lokal.
„Penghasilan kami hanya dari hutan. Hutan sudah menjadi teman dalam menjalani kehidupan serta pelindung dan rumah kami. Kalau tidak ada hutan, dengan apa kami hidup?”
Pernyataan itu berasal dari Rosniarti Cibro (50 tahun), seorang petani gambir dari desa Bongkaras, kecamatan Silima Pungga-Pungga, kabupaten Dairi, provinsi Sumatera Utara. Sudah 22 tahun lamanya Rosniarti menggantungkan hidupnya dari hutan.
Rosniati bersama suami, Ambri Sagala (60 Tahun), sejak tahun 2002 sudah tinggal di Bongkaras. Desa ini terdiri dari 2 dusun; Dusun Satu mayoritas penduduknya pemeluk Islam dan Dusun Dua mayoritas Kristen. Rosniarti tinggal di Dusun Satu.
Lahan Ambri cukup jauh dari rumahnya. Membutuhkan waktu sekitar 50 menit untuk sampai ke pondok gambirnya di hutan. Sekitar 20 menit mengendarai sepeda motor dengan melewati dua sungai dan jalan menanjak yang berbatu. Sewaktu hujan, jalan akan menjadi licin sehingga mengharuskan Rosniarti berjalan kaki, sementara Ambri menerobos jalan dengan mengendarai sepeda motor. Sesampainya di ujung jalan, tepat di tepi sungai, mereka mulai berjalan kaki. Sekitar 30 menit mendaki dengan kemiringan kira-kira 60 derajat, barulah mereka sampai di pondok gambir.
Sarang si Tapak Merah
Dusun Satu Bongkaras sudah sejak lama diidentikkan sebagai sarang si Tapak Merah. Ambri bahkan menuturkan bahwa gambir di kabupaten Dairi banyak bersumber dari dusun tersebut. Ia adalah satu dari puluhan Tapak Merah yang menetap di sana. Tapak Merah ialah sebutan khas petani gambir. Ini karena, setelah melewati proses yang panjang, daun gambir dijemur hampir selama seminggu hingga berwarna merah. Sementara itu daun gambir dibolak-balik dengan tangan agar warna merahnya merata. Dalam fase inilah getah gambir sering sekali melekat di tapak tangan petani. Getah ini tidak mudah dihilangkan dan memiliki daya rekat warna yang kuat. Sehingga itu menjadi tanda bagi petani gambir.
Kegunaan gambir
Gambir biasanya digunakan untuk mardebban oleh suku Batak. Mardebban ialah mengunyah sirih yang sering dilakukan kaum hawa, dimana selain gambir juga kapur dan buah pinang sebagai bahan campurannya. Oleh karena itu produksi gambir banyak dipasarkan ke Karo, Toba dan Dairi yang mayoritas penduduknya adalah suku Batak.
Sumber khasiat tumbuhan gambir terletak di getah daunnya. Manfaat bagi kesehatan manusia adalah untuk mengobati sakit gigi, menyembuhkan sakit lambung dan radang usus, mencegah serangan jantung, mencegah kanker kulit dari bahaya paparan sinar ultraviolet matahari, mempercepat penyembuhan luka, obat sakit tenggorokan dlsb.
Selain itu daun gambir juga dapat dijadikan teh. Cara membuatnya mudah, cukup memasak daun gambir lalu dikeringkan dan ditunggu selama 1 hari. Daun itu kemudian dimasukkan ke dalam air panas, setelah itu diaduk. Jadilah teh gambir yang gunanya sebagai obat gangguan pencernaan seperti diare dan disentri, sakit perut dan lain-lain.
„Sebenarnya banyak guna gambir ini, cuma kadang kami kurang mengerti bagaimana mengelolanya. Katanya gambir ini bisa untuk membuat lipstik, tinta baju batik dan lain-lain,” terang Rosniarti.
Gambir Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga
Mayoritas Dusun Satu memang sejak dahulu sudah mengelola gambir dan menjadikannya sebagai satu-satunya penopang ekonomi keluarga.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatra Utara, luas ladang gambir di Dairi pada 2021 sekitar 471 hektar dengan produksi mencapai 412 ton. Tanaman gambir ini tumbuh di kebun atau lahan pertanian bersama tanaman-tanaman buah seperti durian, jeruk, kakao dll.
Sejak tahun 2015, ada sekitar 1.474 KK petani gambir dengan total produksi 370 ton per tahun. Terjadi peningkatan di tahun 2016, ada sekitar 1.477 KK petani gambir dengan produksi 371 ton per tahun. Namun menurun di tahun 2017 menjadi 1.214 KK dengan produksi 254 ton per tahun. Adapun data statistik Desa Bongkaras tahun 2007 tercatat ada sekitar 305 jiwa (68 KK) dan sekitar 50 persen dari 145 petani mengelola gambir.
Hasil dari mengolah gambir inilah maka pasangan suami-istri petani gambir ini bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga tamat SMA. Kini ketiganya telah menikah dan merantau ke beberapa daerah. Sedangkan anak ke empat masih kelas 2 SMA, tinggal bersama mereka.
Larangan di hutan dan kepercayaan kepada nenek moyang
Dalam mengumpulkan gambir, tidak diperbolehkan memotong ranting daun gambir yang sedang berbunga. Karena ranting berbunga itulah yang nantinya akan tumbuh menjalar dan menghasilkan daun baru. Dan dalam waktu 3 bulan akan segera dipanen kembali. Jadi itu adalah langkah untuk menjaga keberlanjutan ranting daun gambir agar dapat terus bertumbuh.
Masyarakat Dusun Satu Bongkaras memiliki kepercayaan bahwa nenek moyang mereka yang beragama Islam tinggal di hutan tersebut. Sewaktu warga sedang bekerja di hutan ada beberapa larangan. Bila warga melanggar akan menyebabkan musibah. Misalnya, tidak boleh membawa daging haram (babi/anjing), berbicara tidak sopan, buang air besar dan kecil sembarangan, mencuci di sumber mata air, serta harus meminta izin kepada pemilik hak ulayat jika ingin membuka lahan.
Adapun tradisi yang dijalankan Pemilik Hak Ulayat (PHU) ketika ada pendatang meminta lahan kepadanya adalah, pertama, pendatang membawa satu lembar daun sirih sambil menyampaikan maksud atau permintaan untuk membuka lahan. Kedua, PHU pergi ke hutan tepat di lahan yang ingin dikelola si pendatang. Di situ PHU memanjatkan doa permohonan kepada penghuni hutan (nenek moyang). Lalu sirih itu di kubur di lahan tersebut. „Sirih itu berguna karena kami menganggap nenek moyang kami dari dulu selalu menyirih,” kata PHU.
Disamping itu penduduk percaya bahwa pohon gambir memiliki jiwa dan seakan-akan menyatu dengan jiwa petani gambir. Hubungan keduanya bersifat kausal; bila ada petani gambir punya maksud atau pikiran buruk, maka buruk pula hasil dari mengolah gambir.
Tanah longsor akibat pertambangan
Akhir tahun 2018, desa ini terkena musibah banjir bandang dan tanah longsor. Peristiwa itu bahkan menewaskan 7 orang warga Silima Pungga-Pungga. Selain itu beberapa lahan gambir milik warga terseret banjir, terkena longsor, tertimbun, hingga lahan itu tidak lagi dapat dikelola warga.
Aktivitas persawahan yang dulunya aktif, kini telah pasif. Lahan sawah seketika berubah menjadi tempat serpihan pohon yang tumbang dari hutan. Bahkan saat itu mendapat air menjadi hal yang sulit, hingga satu bulan lamanya. Musibah itu begitu menyimpan kerugian besar bagi petani gambir, termasuk Ambri.
Ia menuturkan hampir setengah lahan gambir mereka terkena longsor. Tidak hanya kerugian secara ekonomi, peristiwa itu juga menyimpan kecemasan kala sepasang suami istri tersebut mengelola gambir di dalam hutan. Hujan yang semula dianggap berkat, kini menjadi semacam momok yang menakutkan. Oleh karena itu, memprediksi cuaca selalu menjadi aktivitas awal sebelum melangkah ke hutan. Jika terlihat mendung maka niat untuk mengambil gambir akan terhenti.
PT Dairi Prima Mineral (DPM)
Mongabay Indonesia mensinyalir bahwa banjir bandang diduga berkaitan dengan kehadiran perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM).
DPM merupakan perusahaan yang mendapat kontrak karya dari pemerintah Indonesia dengan luas konsesi 27.420 hektar. Ada perubahan, luas areal konsesi kini menjadi 24.636 hektar tersebar di tiga kabupaten di dua provinsi yakni kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat (Sumatra Utara) serta kabupaten Subulussalam (Nanggroe Aceh Darussalam).
Konsesi Tambang DPM juga berada di kawasan blok hutan Sidiangkat. Secara administrasi blok hutan Sidiangkat berada di wilayah kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi. Blok ini memiliki luas sekitar 30.000 ha dengan populasi orang utan sekitar 134 individu (PHVA, 2004). Kegiatan tambang merusak habitat dan mencemari lingkungan melalui limbah beracun. Selain itu, risiko bencana lingkungan seperti longsor dan pencemaran logam berat juga meningkat, mengancam keberlanjutan ekosistem serta kehidupan masyarakat sekitar. Upaya mitigasi dan advokasi sangat diperlukan untuk melindungi kawasan kritis ini.
Pusat tambang DPM terletak di Desa Longkotan, kecamatan Silima Pungga Pungga. Kala itu, 70% saham perusahaan ini milik Herald Resources Limited, sisanya PT Aneka Tambang. Kemudian saham perusahaan beralih 100% ke PT Bumi Resources Minerals (BRMS), milik keluarga Aburizal Bakrie. BRMS tak mampu membayar hutang hingga mereka jual 51% kepada Non-Ferrous China (NFC).
DPM mulai mengebor perut bumi pada 1997 dan menghasilkan endapan seng atau anjing hitam bermutu tinggi di Sopokomil, kecamatan Silima Pungga-Pungga, kabupaten Dairi.
Pada 2002, DPM memulai studi pra-kelayakan untuk menentukan kelayakan sumber daya tambang itu. Marlince, salah seorang petani gambir perempuan pun khawatir.
„Hutan kita ditebang. Bagaimana tidak terjadi banjir bandang?”
Gambir dan tanaman lain menyejahterakan warga desa Bongkaras. Marlince bilang, warga tidak membutuhkan tambang. Tambang, katanya, hanya menguntungkan segelintir orang sedang masyarakat menderita.
Masyarakat Dairi protes dan melawan sampai mengajukan gugatan hukum. „Saya akan terus melawan karena ini tanah nenek moyang kami, melawan sampai mati.”
Riset Sajogyo Institute (2023) melaporkan bahwa aktivitas tambang juga berdampak pada air yang digunakan petani gambir di Bongkaras.
Bagi petani gambir, air dari sungai juga berguna untuk memasak gambir. Karena itu mereka biasanya mendirikan tempat pemasakan gambir di dekat sungai atau di tempat-tempat yang aliran airnya lancar.
Marlince bilang, kehadiran DPM mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Desa Bongkaras yang terletak di sekitar pertambangan. Selain banjir bandang, Bongkaras juga pernah mengalami kebocoran limbah tambang pada 2012.
„Nanti kita gak bisa berladang lagi. Aku gak bisa bikin gambir lagi,” ucapnya dengan penuh cemas.
Tim Penulis: Goklas Sihotang dan Reza
download disini: Sarang Tapak Merah di balik ancaman tambang.pdf
Video WatchDoc Kolaborasi: Dairi diancam tambang
Dairi Diancam Tambang adalah dokumenter produksi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih bersama Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu). Dokumenter ini mengisahkan kecemasan warga Desa Bongkaras dan Desa Longkotan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara atas hadirnya perusahaan tambang bawah tanah yang akan menambang timah hitam dan seng. Hadirnya perusahaan pertambangan biasanya dinarasikan akan membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Lantas mengapa warga menolak kehadiran tambang?