Simenakhenak: Kebangkitan dari Tanah Leluhur, Merajut Kembali Masa Depan Hijau

rumah kayu tua Salah satu rumah tua yang terbuat dari kayu di kampung Simenakhenak (© Hengky/Sopo Tano Batak) Plang PT. Toba Pulp Lestari di sekitar wilayah adat Simenakhenak Plang PT. Toba Pulp Lestari di sekitar wilayah adat Simenakhenak (© Hengky/Sopo Tano Batak) Lima laki-laki dengan pakaian adat memegang sertifikat Penyerahan SK Hutan Adat (03/02/22) oleh Presiden Joko Widodo di Bakkara, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (© Kompas.id) Masyarakat melakukan pembersihan bibit kopi Masyarakat Adat Simenakhenak saat bergotong royong melakukan pembersihan bibit kopi yang sudah berusia 5 bulan (© Kartini/Sopo Tano Batak) Seorang Ibu menanam pohon jenis Ingul Seorang Ibu menanam pohon jenis Ingul di atas wilayah adatnya di Simenakhenak (© Hengky/Sopo Tano Batak)

2 Okt 2024

Komunitas adat Simenakhenak di Tanah Batak sedang memulihkan 252 hektar hutan adat, yang sebelumnya dibabat habis oleh PT Toba Pulp Lestari. Pemulihan lingkungan seiring dengan kebangkitan ekonomi masyarakat adat. Program ini didukung oleh kerjasama AMAN Tano Batak dengan Selamatkan Hutan Hujan

Di tanah Batak, kampung telah menjadi bagian dari identitas, karena tanah (kampung) melekat dengan marga. Sehingga untuk mengetahui asal usul orang Batak, cukup menanyakan marganya dan kita bisa mengetahui, dari mana dia berasal atau di mana letak kampungnya. Oleh karena itu, orang Batak tidak mungkin bisa dipisahkan dari kampung halamannya. Ada sebuah ungkapan bagi Masyarakat Adat Batak untuk mengidentifikasi dirinya, di sebut dengan “Huta na mar marga- marga na mar Huta” yang artinya kampung yang memiliki marga dan marga yang memiliki kampung. 

Ungkapan itu bisa kita lihat di Huta atau kampung Simenakhenak, sebuah kampung kecil yang masuk ke dalam bagian administrasi, Desa Parsoburan Barat, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Kampung Simenakhenak di huni oleh marga Samosir, yang letaknya berada di dataran tinggi Danau Toba. Untuk sampai ke kampung itu, kita bisa menempuh perjalanan dari pusat kota Balige sekitar 2 Jam dengan mengendarai sepada motor, menaiki pegunungan, sepintas akan terlihat keindahan Danau Toba dari sudut pandang yang jauh. 

Ompu Raja Martonggo Samosir adalah perintis awal kampung Simenakhenak, yang sampai hari ini masih di huni dan kelola oleh keturunannya. Kampung Simenakhenak awalnya penghasil getah kemenyan dan kopi, namun semenjak kehadiran perusahaan kertas PT. Inti Indorayon Utama, yang saban hari berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, perlahan hutan kemenyan dan kopi di Simenakhenak berangsur hilang dan punah. Tidak ada lagi wangi kemenyan tercium dari kampung itu, dan kopi terserang hama penyakit akibat masifnya peralihan hutan alam ke tanaman monokultur eukaliptus.  

Masyarakat Adat Simenakhenak mengalami kerugian besar, setelah hutannya hilang, tanahnya juga tidak lagi bisa mereka kelola, sementara dampak dari rusaknya hutan, merekalah yang merasakannya, seperti kesulitan mendapatkan sumber air bersih, ancaman bencana alam longsor dan penggunaan pestisida kimia yang berlebihan untuk tanaman eukaliptus.

 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat Simenakhenak

Mangapul Samosir, seorang tetua adat Simenakhenak, suatu hari mengenang perjalanan panjang masyarakat adat Simenakhenak. "Sekitar tahun 1985-1986 kampung ini sempat tidak berpenghuni, karena akses pendidikan yang terbatas dan sulitnya memasarkan hasil bumi, kami pindah ke Kampung Tukko ni Solu, yang jaraknya dari sini sekitar 3 Kilometer, walaupun tinggal di Tukko ni Solu, lahan-lahan pertanian yang berada di Simenakhenak tetap kami jaga dan kelola", ungkapnya.

Tapi, nasib sial mendatangi Masyarakat Adat Simenakhenak, tahun 1987 tanpa sepengetahuan mereka, PT. Inti Indorayon Utama atau PT. Toba Pulp Lestari (TPL) memasuki kampung itu, dan membabat habis hutan mereka yang berisi pohon kemenyan. Mereka pasrah melihat hutan-hutan itu di babat dan kayu-kayunya di angkut entah kemana, semenjak saat itu, Masyarakat Adat Simenakhenak hanya menjadi penonton aktivitas perusahaan yang lalu lalang di atas tanah adatnya. Sempat berpikir untuk melawan, namun melihat pemerintahan orde baru yang cukup otoriter, Mangapul Samosir bersama komunitas adatnya mengurung niatnya, dan pasrah dengan situasi. 

Pada tahun 2016, masyarakat Simenakhenak kembali menginisiasi perjuangan untuk merebut kembali hak atas tanah adatnya, yang telah diklaim sepihak oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara dan diserahkan kepada PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Musyawarah Adat di kampung dilaksanakan, dan salah satu hasilnya, mendaftarkan kampung Simenahenak menjadi anggota dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. 

Semenjak saat itu, Mangapul Samosir bersama dengan anggota komunitas adat, selalu setia melalui jalur terjal untuk mendapat pengakuan atas tanah dan hutan adatnya. Mulai dari tingkat Desa sampai ke tingkat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, mereka terlibat menyampaikan persoalan yang dihadapi komunitas adat Simenakhenak.

 

Perjuangan panjang ini akhirnya membuahkan hasil pada tahun 2022, ketika mereka menerima Surat Keputusan tentang Pengakuan dan Perlindungan atas Wilayah Indikatif Lokasi Hutan Adat (WILHA) seluas 252 Hektar dari total luas wilayah adat 542 Hektar, oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Bakkara, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Meski demikian, perjuangan Simenakhenak masih harus terus berlanjut untuk mendorong pengakuan resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Toba. Namun langkah tersebut telah membuka peluang untuk Masyarakat Adat Simenakhenak untuk kembali mengelola dan menjaga tanah leluhurnya.

Meski hutan mereka yang dulu lebat kini sudah surut gersang ditumbuhi ilalang, dan sebagian masih tersisa pohon eukaliptus perusahaan, tapi memori kolektif Masyarakat Adat Simenakhenak tentang sejarah leluhurnya yang ada di tanah itu harus mereka jaga dan rawat. Setelah mendapatkan Pengakuan atas Hutan Adatnya, Masyarakat Adat Simenakhenak harus bergotong royong untuk mengembalikan kejayaan kampungnya dengan kembali menanami pohon dan kopi demi keberlangsungan generasi mereka. 

Memulihkan Hutan demi generasi mendatang

Kemenangan kecil ini adalah buntut konsistensi komunitas Masyarakat Adat Simenakhenak, begitu juga dukungan dari para mitra Masyarakat Adat, seperti Selamatkan Hutan Hujan, yang turut berkontribusi dalam perjuangan Masyarakat Adat Simenakhenak untuk mendapatkan kembali haknya. 

Langkah ini, menjadi titik awal bagi komunitas adat Simenakhenak untuk memulihkan kembali hutan dan lahan yang telah dirusak oleh perusahaan. Mereka merencanakan program rehabilitasi dengan memilih lokasi-lokasi yang kritis untuk direstorasi. Para ibu-ibu di kampung mulai mengumpulkan kompos dan menyemai aneka jenis pohon untuk dibibitkan. Bibit-bibit pohon tersebut akan ditanam perlahan di lahan-lahan yang telah gersang.

 

Kopi, yang dulunya menjadi andalan ekonomi Simenakhenak, akan kembali menjadi tumpuan harapan masyarakat. Mereka berkeinginan mengembalikan kejayaan masa lalu, di mana dari hasil kopi mereka bisa menyekolahkan anak-anak dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Para perempuan di Simenakhenak memulai pembibitan sekitar 15.000 batang kopi, dan ditanam di atas tanah adat mereka.

Setiap minggu, masyarakat adat bergotong-royong menanam pohon dan merawat bibit kopi yang telah disemai selama 2-3 bulan dan dipindahkan ke polibag. Pada bulan ke-4 hingga ke-5, bibit tersebut sudah siap ditanam di lahan yang dipulihkan.

Saat ini, sudah ada 5 hektar lahan yang dipulihkan dengan tanaman pohon alam, dan 10 hektar lahan akan digunakan untuk menanam kopi.

 

Keberhasilan ini bukan hanya soal pemulihan lingkungan, tetapi juga kebangkitan ekonomi masyarakat adat. Perlahan-lahan, Simenakhenak akan kembali hidup sebagai kampung yang makmur, dengan hutan adat yang lestari dan masyarakatnya yang sejahtera. Program ini didukung oleh kerjasama dengan Selamatkan Hutan Hujan, yang menggalang donasi untuk membantu memulihkan hutan adat Simenakhenak yang kritis.

Di masa depan, Simenakhenak akan menjadi contoh nyata bahwa dengan kesatuan, kegigihan, dan kerja keras, masyarakat adat dapat mengembalikan kejayaan tanah leluhur mereka dan membangun masa depan yang lebih baik.

Halaman ini tersedia dalam bahasa berikut:

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!