Viskosa — bahan konflik dari hutan hujan
25 Sep 2024
Kemeja, celana atau t-shirt dari viskosa, semua ini adalah pakaian dari serat kayu yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Namun karena mode yang cepat berubah dan permintaan yang meningkat akan bahan viskosa, hutan ditebang dan penduduk digusur - terutama di Indonesia dan Brasil.
Penyerbuan terjadi jam tiga malam: Puluhan orang berpakaian sipil menyerbu masuk ke rumah-rumah, menculik lima laki-laki dan membawanya ke penjara. Aksi yang terjadi pada 22 Juli 2024 di desa Sihaporas ini merupakan cerita bersambung dari sejarah kekerasan yang panjang, yaitu konflik antara masyarakat adat Batak dan perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatra Utara: Masyarakat adat Sihaporas diculik. Imbas konflik tanah dengan Toba Pulp Lestari
Sejak 1989 TPL di wilayah danau Toba memproduksi selulosa untuk kertas dan viskosa serta punya konsesi 265.000 hektar hutan hujan dan tanaman industri. Konsesi TPL itu berada di wilayah masyarakat adat yang sudah mereka diami sejak nenek moyangnya. Sudah 35 tahun lamanya mereka melawan dan menuntut kembali tanah leluhur mereka. Tapi selama mereka tidak diakui sebagai „mayarakat hukum adat“, hutan mereka milik negara dan bisa disewakan ke perusahaan. Jalan menuju „pengakuan“ panjang dan berat. Hal ini juga dialami masyarakat adat Batak Sihaporas yang terus berjuang mencapai tujuannya, yaitu hak tanahnya.
Toba Pulp Lestari terkait dengan korporasi Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) / Royal Golden Eagle, sebuah produsen serat viskosa terbesar di dunia yang sebagian besar hutan tanaman industri dan pabriknya berada di Asia (Indonesia, China) dan Brasil.
Viskosa diperoleh dari selulosa. Setelah poliester dan katun, viskosa merupakan bahan tekstil ke tiga yang sering digunakan di pasar dunia. Sekitar 6,7 juta ton viskosa dihasilkan tiap tahunnya, dengan tendensi akan naik pesat.
Fast fashion – Proses mode yang berjalan cepat
Istilah ini lahir di tahun 1990-an, ketika industri mode memutuskan menjual mode baru ke pasaran dalam sirkulasi waktu yang singkat, sementara ini sedikit-dikitnya setiap dua minggu sekali.
Sejak masa ganti abad, produksi pakaian seluruh dunia naik dua kali lipat dan tumbuh tak terkendali. Fast fashion diciptakan tidak untuk tahan lama dan tidak untuk bisa digunakan kembali. Bahan yang digunakan sering bermutu rendah, sehingga hampir tidak bisa didaur ulang. Setelah digunakan beberapa kali pakaian bermutu rendah itu harus dibuang.