Perusahaan HTI merusak hutan hujan di Boven Digoel
18 Apr 2024
Di Boven Digoel, hutan hujan dihancurkan untuk industri kertas dan tekstil! Perusahaan HTI PT Merauke Rayon Jaya diduga melakukan tindakan melawan hukum. Penggusuran dan pembabatan hutan tanpa musyawarah ditolak keras oleh masyarakat adat Wambon.
Sekali lagi hutan rimba dihancurkan untuk bubur kertas dan serat tekstil, sekali lagi hak masyarakat adat dilanggar!
Saat ini, masyarakat adat Wambon Kenemopte di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan sedang menghadapi permasalahan penggusuran dan perusakan lahan dan hutan yang dilakukan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Merauke Rayon Jaya (MRJ), terjadi semenjak awal April 2024, menurut Siaran Pers Pusaka: Perusahaan HTI PT Merauke Rayon Jaya di Kabupaten Boven Digoel diduga melakukan tindakan melawan hukum.
Mitra Selamatkan Hutan Hutan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), telah menerima laporan masyarakat adat terdampak bahwa PT MRJ telah menggusur lahan dan hutan adat dengan cara melanggar hukum adat, yakni penggusuran dan pembabatan hutan tanpa musyawarah dan restu izin sebagaimana hukum adat setempat. Perusahaan PT MRJ juga belum menyampaikan dokumen perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dari negara dan persyaratan seperti kelayakan lingkungan, rencana kerja usaha, AMDAL dan sebagainya kepada masyarakat.
Pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Selatan, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Selatan, dan Kepala Bidang Lingkungan Hidup DLHKP Provinsi Papua Selatan, juga mengkonfirmasi tidak menerbitkan surat pemberian izin dan rekomendasi, dan persyaratan usaha lainya, tentang keberadaan dan rencana operasi perusahaan hutan tanaman industri PT MRJ.
Persyaratan dan perizinan dimaksud berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.28 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian, Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekososistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi, dan perubahannya sebagaimana Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.19/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019; dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/ 2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Perusahaan PT MRJ tidak menghormati HAM Masyarakat Adat Wambon Kenemopte
jelas Tigor G Hutapea, staf advokasi Pusaka. „Perusahaan diduga melanggar hukum yakni beroperasi membongkar dan menggusur hutan, dan memanfaatkan hasil hutan kayu, tidak sesuai ketentuan negara dan tanpa izin masyarakat adat.”
Masyarakat adat Wambon Kenemopte di Distrik Subur telah berkali-kali menyatakan dan melakukan penolakan terhadap rencana operasi perusahaan PT MRJ secara langsung terhadap operator perusahaan (2021) dan disampaikan melalui surat pernyataan pencabutan izin kepada pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Dinas Kehutanan dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, DPMPTSP Provinsi Papua Selatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023). Namun belum ada tanggapan dan langkah kongkrit yang dilakukan.
Operasi bisnis perusahaan hutan tanaman industri pulp PT MRJ menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat, akibat hilangnya hutan alam dan tanaman asli yang diganti, hilangnya sumber mata pencaharian, pangan dan pendapatan ekonomi masyarakat, terbatasnya hak dan akses usaha masyarakat, rusaknya lingkungan hutan alam dan kawasan gambut, maupun perairan sungai dan rawa di wilayah adat. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak dan pengabaian keberadaan masyarakat setempat.
Masyarakat adat Wambon Kenemopte bereaksi atas tindakan ilegal, pengrusakan hutan dan pembangunan camp perusahaan di wilayah adat masyarakat, dengan memperingatkan pihak pekerja setempat untuk menghentikan aktivitas pengrusakan hutan dan pembangunan logpond perusahaan. Masyarakat akan memberikan sanksi adat jika kegiatan perusahaan melanjutkan pengrusakan hutan adat.
Hasil kajian PUSAKA (2022), kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ di dominasi kawasan hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar, yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah.
Pusaka berpandangan dan meminta pemerintah nasional dan daerah konsisten dan sungguh-sungguh menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia dalam setiap rencana dan proyek pembangunan inklusif, yang sejalan dengan konsistitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang telah dirubah dengan UU Nomor 02 Tahun 2021, Bab X Perekonomian Pasal 38 – 42. Dalam kerangka perekonomian inklusif dan pemajuan hak dan pemberdayaan hak Orang Asli Papua, negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak sosial ekonomi, mata pencaharian, pengetahuan modal sosial dan sumber-sumber hidup masyarakat adat Papua.
„Kami meminta pejabat pemerintah kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua Selatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mengambil tindakan penertiban, dengan menghentikan dan mengevaluasi keberadaan dan aktivitas perusahaan PT Merauke Rayon Jaya, atas dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dan telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat”, jelas Tigor G Hutapea.
Info singkat keberadaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ):
Perusahaan PT MRJ anak perusahaan Texmaco Group milik Marimutu Sanivasan. Awalnya PT MRJ diketahui bernama PT Maharani Rayon Jaya dan mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp pertama kali dari Menteri Kehutanan tahun 1998, dengan areal konsesi seluas 206.800 hektar di Provinsi Irian Jaya.
Lalu tahun 2014, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin perusahaan PT MRJ dan mendapatkan perlawanan perusahaan dengan menggugat putusan hingga Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung yang mengabulkan pembatalan pencabutan izin (2017)