Tata Kelola Hutan dan Dukungan bagi Pemantau Lemah

12 Feb 2025
Laporan hasil pemantauan hutan mengungkap berbagai praktik ilegal dalam pengelolaan hutan. Laporan oleh Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) bersama mitra di tujuh provinsi ini menegaskan bahwa pembalakan liar, eksploitasi hutan oleh pemegang hak atas tanah serta lemahnya perlindungan terhadap pemantau dan masyarakat adat masih menjadi ancaman serius.
Mendorong Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Dukungan bagi Pemantau
Laporan hasil pemantauan yang terangkum dalam „Suara dari Tepian Rimba: Bunga Rampai Catatan Para Pemantauan Hutan di Indonesia“, mengungkap berbagai praktik ilegal dalam pengelolaan hutan serta indikasi ketidakpatuhan pemegang izin. Laporan yang disusun oleh Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) bersama mitra di tujuh provinsi ini menegaskan bahwa meskipun ada upaya perbaikan tata kelola hutan, pembalakan liar, eksploitasi hutan oleh pemegang hak atas tanah (PHAT), serta lemahnya perlindungan terhadap pemantau dan masyarakat adat masih menjadi ancaman serius.
Laporan ini menemukan berbagai indikasi pelanggaran di tingkat hulu hingga hilir, antara lain:
-
Tanah Papua: PT Subur Karunia Raya di Papua Barat yang memanfaatkan kayu dengan izin IPK, terindikasi membuka hutan di sempadan sungai dan merusak ekosistem gambut.
-
Riau dan Kalimantan Utara: PT Satria Perkasa Agung dan PT Adimitra Lestari terindikasi abai dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).
-
Aceh dan Kalimantan Tengah: Pemanfaatan PHAT yang disalahgunakan untuk melegalkan penebangan dalam kawasan hutan.
-
Industri Hilir: CV Almenta di Jawa Timur terindikasi kuat menerima kayu ilegal.
Eksploitasi Hutan dengan Modus PHAT dan IPK
Rahmad Syukur dari Yayasan Apel Green Aceh mengungkapkan, „Kami menemukan modus penggunaan Hak Atas Tanah (PHAT) untuk melegalkan kayu hasil penebangan ilegal di Kabupaten Nagan Raya. Hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan mengancam wilayah masyarakat adat. Dalam salah satu kasus, kawasan lindung telah disalahgunakan untuk kepentingan komersial tanpa memperhitungkan dampak ekologis.”
Wancino dari Kaharingan Institute menambahkan, “Praktik PHAT ini sangat merugikan hutan dan masyarakat sekitar. Perusahaan memanfaatkan celah hukum untuk menghindari sanksi, sementara aktivitas ilegal mereka terus menghancurkan kawasan hutan primer.”
Sementara itu, Sulfianto Ilyas dari Panah Papua menyoroti pemanfaatan kayu dengan izin IPK yang kini diubah menjadi PKKNK sebagai celah legalisasi deforestasi. “Pemanfaatan kayu dengan izin IPK ini sangat erat dengan deforestasi yang prosedurnya hanya untuk memenuhi proses administrasi semata, tanpa ada jaminan keberlanjutan. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan sehingga membuka celah eksploitasi hutan alam. ”
Ketidaksesuaian Implementasi SVLK dan Lemahnya Pengawasan di Industri Hilir
Pelaksanaan SVLK masih menunjukkan banyak celah. Pemegang izin PBPH Hutan Alam dan Hutan Tanaman seringkali abai terhadap indikator 3.2 terkait pengamanan dan perlindungan hutan. Sebagai contoh, tapal batas yang belum temu gelang sering menjadi permasalahan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelibatan masyarakat lokal, sehingga memicu konflik tenurial. Raja Alpian dari Yayasan Gambut menyatakan ”Implementasi SVLK di PBPH Hutan Tanaman masih sering ditemukan ketidaksesuaian. Banyak perusahaan tidak memenuhi kewajiban dalam melibatkan masyarakat dalam tapal batas, yang akhirnya berdampak pada kerusakan ekosistem dan konflik kepentingan.”
Di sektor hilir, CV Almenta di Jawa Timur terindikasi mencampur kayu ilegal dengan bahan baku legal. Nurul Astuti dari ASET Jawa Timur mengungkap, “Kami menemukan praktik pencampuran kayu ilegal dalam rantai pasok industri di Jawa Timur. Meski ada skema SVLK, pengawasan terhadap rantai pasok masih sangat lemah, sehingga kayu dari sumber ilegal tetap bisa masuk ke pasar. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak pada menurunnya kredibilitas dan akuntabilitas dari upaya legalitas yang telah dibangun.”
Krisis Hak Masyarakat Adat dan Minimnya Perlindungan bagi Pemantau
Maikel Primus Peuki dari WALHI Papua menyoroti dampak konversi hutan untuk industri kayu terhadap masyarakat adat. “Konversi hutan di Tanah Papua menggusur wilayah adat dan mengancam keberlanjutan budaya dan pangan lokal. Konflik tenurial antara masyarakat adat dan pemegang izin masih terjadi. Dalam salah satu kasus, masyarakat adat kehilangan akses ke tanah leluhur mereka yang digantikan dengan perkebunan kelapa sawit skala besar, yang berdampak langsung pada keberlanjutan hidup mereka.”
Deden Pramudiana dari IFM Fund menegaskan bahwa perlindungan terhadap pemantau hutan dan masyarakat adat harus menjadi prioritas. “Laporan pemantauan ini adalah cerminan nyata dari kondisi di lapangan. Meskipun sudah ada upaya penegakan hukum dan perbaikan kinerja pemegang izin, hasil pemantauan menunjukkan bahwa praktik ilegal terus berlangsung.”
Rekomendasi Perbaikan Tata Kelola Hutan
Berdasarkan hasil pemantauan ini, para pemantau independen kehutanan mendukung pemerintah dan pemangku kepentingan untuk segera mengambil langkah nyata:
-
Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan hutan, termasuk akses terbuka terhadap data izin usaha dan hasil audit sertifikasi.
-
Menindak tegas pelaku pembalakan liar dan perusahaan yang melanggar izin, dengan penegakan hukum yang tidak tebang pilih.
-
Menjamin perlindungan hukum bagi pemantau independen kehutanan, seperti jaminan keamanan dalam melakukan pemantauan, serta pencegahan diskriminasi dan intimidasi.
Tanpa langkah konkret, tata kelola hutan akan terus berada dalam ketidakpastian, sementara pembalakan liar dan eksploitasi ilegal semakin mengancam hutan Indonesia. Para pemantau hutan menegaskan bahwa perbaikan tata kelola hutan hanya bisa dicapai jika transparansi, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap pemantau dijalankan secara nyata.
Tim Pemantauan Hutan: Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund); Panah Papua; Kaharingan Institute, Kalimantan Tengah; WALHI Papua; ASET Jawa Timur; Yayasan Gambut; Yayasan APEL Green Aceh