Deforestasi Ancam Habitat Orangutan di Bentang Alam DAS Muroi
25 Nov 2024
Deforestasi masih terus terjadi di kawasan Bentang Alam Daerah Aliran Sungai (DAS) Muroi, Kalimantan Tengah (Kalteng). Situasi ini diperparah dengan adanya ancaman terhadap habitat orangutan dan satwa langka lainnya, serta berpotensi menimbulkan konflik antar masyarakat dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Save Our Borneo - WALHI Kalimantan Tengah
- Kawasan DAS Muroi yang keanekaragam hayati tinggi, termasuk satwa langka, hilangnya tutupan hutan
- Seharusnya hutan DAS Muroi terlindungi
- Save Our Borneo dan Walhi Kalimantan Tengah melakukan monitoring
- Hasil Monitoring: luas konsesi 10 perusahaan (HTI, sawit, tambangan) hampir 200.000 hektar
Palangka Raya, 25 November 2024 – Kawasan Bentang Alam DAS Muroi yang terletak di antara Sungai Kahayan dan Kapuas, mencakup wilayah administrasi Kabupaten Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas sedang terancam kehilangan luas tutupan hutannya (deforestasi). Di kawasan ini, perusahaan-perusahaan HTI menjadi salah satu penyebab utama hilangnya tutupan hutan.
Berdasarkan pengamatan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng dan Save Our Borneo (SOB), setidaknya ada tujuh perusahaan HTI, satu perkebunan kelapa sawit, dan tiga perusahaan pertambangan zirkon yang beroperasi di wilayah ini. Secara keseluruhan, luas konsesi yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut mencapai 193.683 hektar.
Perusahaan HTI jadi pemegang konsesi terluas saat ini. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT. Babugus Wahana Lestari (BWL) dengan luas izin 18.640 ha, PT. Hutan Produksi Lestari (HPL) seluas 10.050 ha, PT. Bumi Hijau Prima (BHP) seluas 20.355 ha, PT. Industrial Forest Plantation (IFP) seluas 101.422 ha, PT. Ramang Agro Lestari (RAL) dengan luas izin 13.580 ha, dan PT. Kalteng Green Resources (KGR) memiliki izin seluas 28.075 ha. Keberadaan konsesi-konsesi ini tidak hanya mempersempit luas hutan, tetapi juga menggusur ruang hidup berbagai spesies, termasuk orangutan.
Padahal, bentang alam DAS Muroi dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Mulai dari tanaman obat-obatan, pohon-pohon, hingga satwa endemik seperti burung rangkong, beruang madu, kalaweit (gibon), dan orangutan.
Orangutan mendominasi sebaran populasi satwa di hutan DAS Muroi. Sehingga kawasan ini menjadi salah satu lokasi dengan populasi orangutan terbesar di Kalimantan. Berdasarkan Analisis Kelayakan Populasi dan Habitat (Population and Habitat Viability Analysis), diperkirakan ada sekitar 1.065 hingga 2.300 orangutan yang tersebar di tujuh unit habitat seluas 399.630 hektar. Beberapa unit habitat orangutan tersebut berada di dalam konsesi perusahaan. Ada sekitar 2.125 hektar di dalam konsesi PT. IFP, 18.783 hektar di PT. BHP, 8.900 hektar di PT. RAL, 8.736 hektar di PT. HPL, dan 6.378 hektar di dalam konsesi perkebunan sawit PT. BAP.
WALHI Kalteng dan Save Our Borneo melakukan monitoring langsung ke lapangan di bulan November 2024 ini. Di sana tim menemukan ada 12 sarang orangutan di dalam areal konsesi PT. BWL. Sarang-sarang tersebut termasuk dalam tipe D dan E yang artinya sudah tak ditinggali lagi oleh orangutan. Sarangnya sudah mereka tinggalkan sekitar 3 minggu lalu. Namun, penemuan ini jadi bukti bahwa kawasan tersebut masih menjadi habitat penting bagi orangutan.
PT. BWL sendiri mengantongi izin sebesar 18.613 hektar. Sehingga, hingga saat ini mereka terus melakukan aktivitas yang berisiko merusak ekosistem di bentang alam DAS Muroi. Dari pengamatan tim di lapangan, perusahaan masih melakukan aktivitas pembuatan jalan utama (mainroad), penebangan kayu hutan alam, serta pembukaan blok-blok untuk rencana penanaman.
Antara izin dan fakta di lapangan menjadi kontroversial. Sebab hutan yang seharusnya dilindungi malah sudah dibebani izin. Hal ini menyebabkan keberadaan hutan alam dan habitat satwa langka di kawasan ini semakin terancam. Deforestasi dapat terus berlangsung, sementara keseimbangan ekosistem yang jadi sumber kehidupan satwa endemik bahkan manusia terganggu sepenuhnya. Sehingga, tak heran jika konflik antar manusia dan perusahaan juga berpotensi terjadi sama halnya dengan flora dan fauna saat ini.
M. Habibi Direktur SOB mengungkapkan bahwa kawasan ini seharusnya perlu dilindungi dari aktivitas deforestasi yang terus berlangsung. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Geospasial Interaktif SIGAP Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah Bentang alam DAS Muroi yang saat ini menjadi konsesi PT. BWL dan beberapa perusahaan hutan HTI lainnya, termasuk dalam kategori DAS yang harus dipulihkan.
“Berdasarkan data dari Kementerian LHK, wilayah ini masuk dalam klasifikasi DAS yang harus dipulihkan. Ini diperkuat dari peta rencana kerja nasional untuk penurunan emisi karbon (FOLU Net Sink 2030) yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan ini termasuk dalam Rencana Operasional (RO) Perlindungan Area Konservasi Tinggi atau RO11. Bagi saya hal ini menegaskan kembali bahwa kawasan tersebut memang memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan dan perlindungan ekosistem,” tegas Habibi.
Habibi juga menambahkan bahwa Pemerintah harus mengambil peran dalam menyelesaikan permasalahan deforestasi yang sedang terjadi. Sebab situasi ini juga berdampak pada upaya pelestarian alam yang dikerjakan oleh Negara. “Dengan kondisi ini, aktivitas deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengganggu upaya pemerintah juga dalam mencapai target penurunan emisi karbon yang telah ditetapkan hingga tahun 2030,” katanya.
Sehingga ia pun mendesak agar langkah-langkah perlindungan terhadap kawasan bentang alam DAS Moroi segera diambil. Hal ini untuk mendukung upaya pemulihan ekosistem serta menjaga komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Sejalan dengan itu, Bayu Herinata, Direktur WALHI Kalteng, juga mengungkapkan bahwa kondisi bentang alam di DAS Muroi yang telah dibebani izin HTI, perkebunan sawit, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan, berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap keberlanjutan ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
"Ada spesies langka di bentang alam ini. Salah satunya orangutan yang sedang terancam punah. Penyebab utama karena rusaknya hutan yang menjadi tempat berlindung dan sumber makanan orangutan. Akibat deforestasi yang dilakukan perusahaan ini berpengaruh juga pada kehidupan dan kemampuan bereproduksi orangutan, karena proses reproduksi orangutan yang cukup lama sangat bergantung pada kecukupan pangan dan hutan yang baik sebagai wilayah jelajahnya. Oleh karena itu, hutan yang baik sangat penting untuk dipertahankan dan dilestarikan," kata Bayu.
Bayu juga menambahkan bahwa selain ancaman terhadap habitat orangutan, kehadiran perusahaan HTI juga berpotensi menimbulkan konflik dengan sistem pengelolaan hutan yang selama ini dipraktekan oleh desa atau pun kelompok masyarakat. "Di bentang alam DAS Muroi ini, terdapat beberapa pengelolaan hutan desa yang berbatasan langsung dengan izin konsesi HTI. Sehingga, deforestasi yang terjadi akan berpengaruh terhadap areal pengelolaan kawasan hutan desa yang dijalankan oleh kelompok masyarakat. Hal ini bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemulihan hutan yang dilakukan di bentang alam ini," tambahnya.
Selain itu Bayu juga menambahkan kembali adanya dampak ekologi yang ditimbulkan dari deforestasi di kawasan ini. “Dampak lain dari deforestasi yang terjadi di bentang alam DAS Muroi adalah menurunnya fungsi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ekosistem hutan tidak lagi dapat mencegah dan memitigasi bencana ekologi, seperti banjir yang intensitasnya semakin sering. Sehingga, wilayah yang terdampak semakin luas, mencakup beberapa desa di dalam bentang alam ini dan bahkan hingga Kota Palangka Raya yang terletak di bagian hilir dari bentang alam DAS Muroi," jelasnya.
Dari semua temuan dan fakta ini, SOB dan WALHI Kalimantan Tengah akhirnya mendesak pemerintah untuk dapat mengevaluasi izin-izin usaha yang telah diberikan kepada setidaknya tujuh perusahaan HTI tersebut. Hal ini penting untuk melindungi hutan dan satwa langka di kawasan bentang alam DAS Muroi. Tanpa adanya upaya perlindungan yang serius, ancaman terhadap kelestarian hutan alam, bencana ekologis, dan habitat satwa endemik akan semakin meningkat.