Undang-Undang Masyarakat Adat tidak bisa ditunda lagi

Massa denga topi adat dan spanduk "Masyarakat adat bukan obyek pembangunan!" Masyarakat Adat bukan obyek pembangunan! Masyarakat Adat berhak menentukan nasibnya sendiri! (© Forest Watch Indonesia)

13 Okt 2024

Undang-undang Masyarakat Adat (RUU MA) dibekukan selama sepuluh tahun. Tanggal 11 Oktober 2024 ribuan masyarakat adat turun ke jalan untuk menuntut agar RUU MA segera disahkan. Aksi damai merupakan peringatan bagi DPR dan kritik terhadap kebijakan Jokowi.

Ribuan Masyarakat Adat pada hari Jumat, 11 Oktober 2024, turun ke jalan. Mereka menuntut segera pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) oleh DPR. Aksi damai ini yang dilakukan di Jakarta dan di berbagai daerah menjadi peringatan bagi DPR dan pemerintah untuk tidak menunda-nunda lagi pengesahan RUU MA.

RUU MA tidak hanya penting untuk perlindungan dan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi lingkungan.

Rahmad Syukur dari mitra kami APEL Green Aceh menjelaskan:

„Tanpa adanya landasan hukum yang kuat, wilayah-wilayah adat kerap dianggap sebagai bagian dari hutan negara atau lahan investasi, sehingga rawan dirampas untuk kepentingan industri.“

Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Pilar Keadilan Sosial dan Pelestarian Lingkungan

Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya menjadi tuntutan komunitas adat, melainkan juga menjadi kebutuhan mendesak dalam konteks reformasi agraria, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan. Hingga saat ini, masyarakat adat di Indonesia terus berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan dan marginalisasi. Mereka sering kali menjadi korban konflik agraria dan perampasan lahan oleh korporasi besar atau pemerintah melalui proyek infrastruktur dan konsesi tambang. RUU ini hadir sebagai langkah konkret untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat, serta memastikan kelestarian kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.

Konteks Permasalahan yang Mendesak

Tanpa adanya landasan hukum yang kuat, wilayah-wilayah adat kerap dianggap sebagai bagian dari hutan negara atau lahan investasi, sehingga rawan dirampas untuk kepentingan industri. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa setidaknya 68 komunitas adat di Bengkulu saja terlibat dalam konflik agraria, dengan sebagian besar lahan mereka diambil alih oleh perusahaan perkebunan dan tambang. Dampaknya tidak hanya pada hilangnya tanah sebagai sumber penghidupan, tetapi juga pada rusaknya ekosistem lokal yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat. Selain itu, mereka sering kali dipaksa bekerja sebagai buruh di tanah leluhur mereka sendiri, memperkuat rantai ketidakadilan struktural.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki pijakan hukum dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012, yang menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, putusan ini belum diimplementasikan secara maksimal di lapangan karena tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur hak-hak masyarakat adat. Situasi ini memperparah ketidakpastian hukum dan membuka peluang bagi eksploitasi lebih lanjut oleh perusahaan atau proyek pembangunan.

Peran RUU MA dalam Menjawab Ketimpangan Sosial dan Lingkungan

RUU Masyarakat Adat tidak hanya mengatur hak kepemilikan tanah dan wilayah adat, tetapi juga memperkuat hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang menjadi bagian dari RUU ini mengharuskan setiap proyek pembangunan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat sebelum dilaksanakan. Hal ini penting untuk mencegah konflik dan memastikan bahwa masyarakat adat tetap memiliki kendali atas tanah dan sumber daya mereka.

Selain itu, RUU MA ini berperan penting dalam pelestarian budaya dan kearifan lokal yang telah dijaga selama ratusan tahun oleh komunitas adat. Kehidupan masyarakat adat sangat terkait erat dengan ekosistem alam di sekitar mereka. Pengakuan atas hak mereka juga berarti pengakuan terhadap peran penting mereka dalam menjaga keberlanjutan lingkungan, yang sejalan dengan agenda nasional terkait perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Hambatan dan Peran Aktor Politik dalam Proses Legislasi

Meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029, pengesahan RUU Masyarakat Adat masih terganjal berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Beberapa fraksi di DPR, seperti PKB, telah menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan RUU ini. Mereka menegaskan bahwa pengesahan RUU ini adalah bentuk penghormatan terhadap hak dan martabat masyarakat adat serta langkah konkret menuju keadilan agraria. Legislator PKB, Anggia Ermarini dan Maman Imanulhaq, menekankan bahwa tanpa pengesahan RUU ini, masyarakat adat akan terus terjebak dalam lingkaran eksploitasi dan marginalisasi. Mereka juga menyatakan bahwa setiap penundaan akan semakin memperpanjang penderitaan masyarakat adat dan memperburuk konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah.

Namun, tantangan terbesar datang dari tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa pengakuan atas hak masyarakat adat bisa menghambat proyek pembangunan berskala besar yang menyasar lahanlahan adat. Ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga soal keberpihakan pada kelompok rentan yang selama ini tersingkir dari proses pembangunan nasional.

Kesimpulan: Mendesak dan Tidak Bisa Ditunda Lagi

Pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah krusial dalam memastikan keadilan sosial dan ekologis. Undang-undang ini bukan hanya tentang memberikan hak formal kepada masyarakat adat, tetapi juga tentang mengakui peran mereka sebagai penjaga lingkungan dan pelestari budaya lokal. Keterlambatan pengesahan hanya akan memperpanjang ketidakadilan yang dialami oleh komunitas adat dan memperburuk kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi tanpa kendali.

Dalam konteks reformasi agraria dan pembangunan berkelanjutan, RUU ini dapat menjadi tonggak penting bagi Indonesia untuk memperbaiki ketimpangan sosial dan lingkungan. Negara harus segera menunjukkan komitmennya dengan mengesahkan RUU ini, karena setiap penundaan berarti semakin banyak komunitas adat yang terancam kehilangan hak mereka. Dengan adanya dukungan kuat dari berbagai pihak di parlemen dan masyarakat sipil, pemerintah diharapkan segera bertindak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh warganya.

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!