Proyek Gula dan Bioetanol Merauke - Jalan Menuju Krisis Ekologi dan HAM
30 Jul 2024
Presiden harus menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke, (gula dan bioetanol) dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.
Pada 23 Juli 2024, Presiden Joko Widodo melakukan penanaman tebu perdana di lokasi perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi di Kampung Sermayam, Merauke.
Rencana pemerintah mengembangkan industri gula dan bioetanol di Kabupaten Merauke merupakan sinyal peringatan karena pembukaan jutaan hektar hutan dan perampasan tanah masyarakat adat akan menciptakan segudang persoalan baru, demikian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Papua Pos Merauke dalam siaran pers tanggal 30 Juni 2024 Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia dan Memperparah Krisis Ekologi
Akibat dari pengalihan penguasaan tanah skala luas, masyarakat adat kehilangan kedhaulatan atas tanah dan hutan, mengalami penghancuran sistem sosial dan budaya, kekerasan, deforestasi, malnutrisi, pengrusakan ekosistem dll.
Selain praktek perampasan tanah melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat, terjadi konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir badan usaha dan grup perusahaan.
„Ada 38 perusahaan dengan berbagai usaha dan komoditi kelapa sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan skala luas mencapai 1.588.651 hektar (di Merauke)”, ulas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Tahun 2023 dan 2024, pemerintah menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi kepada 9 (sembilan) perusahaan perkebunan tebu, seluas 469.147 hektar.
Sembilan perusahaan tersebut tergabung dalam Global Papua Abadi (GPA) Group dan pemilik manfaat (beneficial ownership) adalah keluarga Fangiono pemilik First Resources dan Ciliandry Anky Abadi Group, dan Martua Sitorus pemilik Wilmar Group.
Rencana investasi GPA Group untuk pengembangan lahan perkebunan tebu dan infrastruktur seluas 500.000 hektar dan pembangunan 5 (lima) pabrik pengolahan gula dan bioetanol.
„Areal perizinan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya”, kata Franky Samperante.
Pusaka dan LBH Papua meminta
> kepada Presiden Joko Widodo untuk konsisten menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat dan sungguh-sungguh menerapkan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan, tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim. Karenanya, Presiden harus menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.
> kepada korporasi, investor dan institusi keuangan untuk menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas dan tanpa memaksa masyarakat menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan dan hutan adat di wilayah adat.
> pemerintah daerah untuk mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan.
sumber: Siaran Pers Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Papua Pos Merauke
Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia dan Memperparah Krisis Ekologi