Tanpa hutan, prahara ekologi melanda Tanah Papua
24 Jun 2024
Tanah Papua telah menjadi benteng terakhir industri ekstraktif: kayu, sawit, tambangan. Konsekuensinya sangat dramatis: banjir melanda puluhan desa. Visi pembela lingkungan dan HAM: Tanah Papua damai, berkelanjutan, lestari, dan bermartabat
„Awal mulanya karena hujan deras sekali pada tanggal 6 Juni 2024. Kemudian pada hari Sabtu mulai terjadi banjir. Hari Minggu subuh kita mulai berenang," kata seorang tokoh masyarakat Kokoda Utara, Kabupaten Sorong Selatan, kepada Antara. Dan Okezone memberita, tinggi banjir mencapai hingga satu meter, lutut hingga dada orang dewasa. Banjir merendam ratusan rumah penduduk, sekolah, rumah ibadah dan fasilitas kesehatan. Warga tiga kampung mengungsi ke hutan dan ke tempat lebih aman di desa terdekat.
Sejak beberapa tahun, Sorong mengalami bencana banjir yang parah. „Fenomena Alam menjadi sasaran kesalahan“, menjelaskan Franky Samperante dari LSM Pusaka. „Kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dapat menimbulkan prahara ekologi menjadi Dead Zone“.
Alasan kerusakan lingkungan, hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati: Tanah Papua menjadi sasaran baru dari ekspansi kapital dan proyek pembangunan ekonomi untuk mewujudkan ambisi pertumbuhan ekonomi negara yang dikendalikan dan dinikmati segelintir pemodal.
Christoph Parsch, peneliti universitas Göttingen, Jerman, memperlihatkan peta rancangan ambisi negara untuk menguras kekayaan alam Tanah Papua melalui pemberian izin konsesi industri ekstraktif, penebangan hutan, perkebunan, pertambangan, pembangunan infrastruktur dan sebagainya, yang mana luasnya lebih besar dibandingkan hutan lindung.
Gambaran rencana penghancuran dan penggundulan hutan hujan Tanah Papua 2022 (© Christoph Parsch)
Untungnya, sejumlah konsesi di Papua Barat dan Papua Barat Daya telah dibatalkan - ini merupakan keberhasilan dari kerja keras masyarakat adat dan pemerhati lingkungan yang berkesinambungan.
Gambaran ini sekaligus potret rencana penghancuran dan penggundulan hutan hujan luas. Proyek-proyek komodifikasi hutan dapat merontokkan spritualitas, manfaat dan fungsi hutan sebagai sumber kehidupan sosial budaya, ekonomi dan ekologi, menjadi properti dan komoditi perdagangan yang memperuntungkan dan memperkaya pemodal.
Sebagian besar wilayah konsesi ini masih berupa hutan yang lebat. Kita masih bisa menyelamatkan banyak hutan hujan.
Kesimpulan Christoph Parsch dan kawan peneliti: Risiko krisis keanekaragaman hayati yang terjadi di Tanah Papua akan semakin menempatkan hutan dan keanekaragaman hayati yang unik di jalur suram kehilangan dan degradasi hutan yang parah yang telah diamati di pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. (The risk of a biodiversity crisis unfolding in Tanah Papua will increasingly put its forests and unique biodiversity on the gloomy path of severe forest loss and degradation already observed on other large Indonesian islands.)
Sejak awal tahun 2000 an, kampung di pedalaman daerah Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni, Fakfak, Nabire, Timika, Keerom, Jayapura, Sarmi, Merauke dan Boven Digoel, dilintasi kendaraan traktor, bulldozer, dump truk, hingga ke dalam hutan. Suara mesin chainsaw dan exkavator menderu-deru, menebangi pohon, menggusur dan menghancurkan hutan alam. Air sungai kabur dan berlumpur.
Hutan alam yang menjadi penopang dan sumber hidup masyarakat adat setempat dan rumah dari berbagai keanekaragaman hayati endemik, lalu digantikan lahan perkebunan tanaman monokultur kelapa sawit guna menghasilkan minyak kelapa sawit, bisnis baru untuk campuran bahan makanan dan sumber energi pengerak mesin industri dan transportasi.
Perubahan tutupan lahan dan hutan berdampak pada sistem daerah aliran sungai melalui perubahan aliran air dan penurunan kualitas air, yang pada gilirannya mengancam keberlangsungan ekosistem dan kehidupan manusia.
Sorong Selatan, dimana konsesi industri ekstraktif, penebangan hutan, perkebunan, pertambangan sangat meluas, mengalami perubahan ekologi sangat drastis. Di daerah aliran sungai Kais, Sorong Selatan, periset dari University of Massachusetts, Briantama Asmara dan Timothy O. Randhir, meneliti dampak hidrologis perluasan perkebunan kelapa sawit (2023), diukur dengan menggunakan model SWAT (Soil and Water Assessment Tool).
Peneliti tersebut menemukan adanya peningkatan sedimentasi sebesar 16,9 persen di daerah aliran sungai, total nitrogen dan fosfor, yang berdampak pada ekosistem perairan dan masyarakat adat di hilir sungai, lokasinya tidak jauh dari ladang dan pabrik minyak sawit.
Prahara ekologi dan dampak hidrologi, erosi tanah, pendangkalan, pencemaran kualitas air, kelangkaan air bersih, dan bencana alam (banjir dan kekeringan), hingga buruknya krisis iklim, sedang mengusik dan menggelisahkan kehidupan masyarakat adat setempat dan masyarakat dunia.
Puluhan ribu hektar hutan alam di hulu sungai Kais, Metamani, Kamundan, Sorong Selatan, meranggas oleh mesin penguasa kayu komersial dan ladang minyak sawit, lalu prahara banjir datang menenggelamkan kampung dan ladang mata pencaharian.
Demikian pula, tegakan dan rawa yang menjamin makanan bagi burung kuning, rusa dan babi, hilang. Hutan mati dan tidak dapat lagi mengatur dan mengendalikan limpahan air hujan, lalu amuk banjir merusak harta benda masyarakat kampung di Bupul dan asset publik, hingga menenggelamkan perumahan warga di pesisir Merauke dan ribuan warga mengungsi.
Banjir dan kebakaran hutan kini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Tanah Papua. Bencana-bencana ini merupakan tanda dari kebijakan ekonomi yang salah total.
Para politisi harus bereaksi dan mengakhiri sistem konsesi industri ekstraktif. Lebih aman mencari kambing hitam untuk dikorbankan dan penanggung kesalahan, dibandingkan mengakui perbuatan sendiri dan kekeliruan kebijakan pembangunan penyebab amuk dan prahara ekologi.
„Untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan yang membayangi di Tanah Papua, diperlukan tindakan segera", demikian Parsch dan kawan peneliti. Mereka berpendapat bahwa dalam konteks politik saat ini, hal ini hanya dapat dicapai dengan: (i) mempromosikan perhutanan sosial, (ii) mengikutsertakan aspirasi masyarakat adat, dan (iii) perencanaan konservasi yang sistematis.
(... to mitigate negative effects of the looming land-use changes in Tanah Papua, urgent action is required. We argue that within the current political context, this can only be reached by holistically: (i) promoting social forestry, (ii) including aspirations of Indigenous communities; and, (iii) systematic conservation planning.)
___________________________________________________________________________________
sumber: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: "Prahara Ekologi"; Parsch, Christoph et al.: Papua at the Crossroads; Asmara dan Randhir: Modeling the impacts of oil palm plantations on water quantity.
Christoph ParschParsch, Christoph et al (2022): Papua at the Crossroads: A Plea for Systematic Conservation Planning in One of the Largest Remaining Areas of Tropical Rainforest
Briantama Asmara dan Timothy O. Randhir,(2024): Modeling the impacts of oil palm plantations on water quantity and quality in the Kais River Watershed of Indonesia
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0048969724026020
Parsch, Christoph et al (2022): Papua at the Crossroads: A Plea for Systematic Conservation Planning in One of the Largest Remaining Areas of Tropical Rainforest
Modeling the impacts of oil palm plantations on water quantity
Briantama Asmara dan Timothy O. Randhir (2024): Modeling the impacts of oil palm plantations on water quantity and quality in the Kais River Watershed of Indonesia
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0048969724026020