The Toxicity Tour around Sulawesi: Cerita Dari Tapak Sulawesi Selatan-Sulawesi Tenggara-Sulawesi Tengah
27 Nov 2023
Organisasi Selamatkan Hutan Hujan dan Yes to Life, No to Mining ikut "The Toxicity Tour" around Sulawesi dan mengalami kerusakan lingkungan dan penderitaan petani perempuan merica di pegunungan Lumereo (Tanamalia)
“You, what do you own the world? How do you own disorder? Disorder”
Tulisan ini terpantik dari lagu System of a Down – Toxicity yang kami dengarkan dalam perjalanan pulang setelah mengunjungi beberapa daerah yang masih mempertahankan lingkungan dari ‘racun’ tambang Nikel di Pulau Sulawesi
*************************************************************
Bulan Oktober lalu merupakan waktu yang padat dan menyenangkan. Saya berkesempatan untuk ikut mengunjungi beberapa daerah yang memiliki cerita perjuangan dalam mempertahankan ruang hidup mereka dari industri ekstraktif, sebut saja pertambangan nikel. Cerita ini akan dimulai dari Loeha Raya salah satu daerah di Kecamatan Towuti yang menaungi lima desa yakni Desa Tokalimbo, Lambatu, Bantilang, Rante Angin dan Masiku.
Ada Cerita Apa di Loeha Raya ?
Loeha Raya adalah nama yang dicetuskan atas kesepakatan masyarakat di lima desa yang telah dituliskan di atas. Dahulu hanya ada satu desa yakni Loeha. Seiring berjalannya waktu dimekarkan menjadi lima desa. Mayoritas penduduk desa ini bekerja sebagai petani merica dengan jumlah petani sebanyak 3.342 orang (WALHI Sulawesi Selatan, 2023). Akses ke desa ini bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau Towuti yang merupakan danau purba tertua di Indonesia. Airnya masih sangat jernih karena belum diganggu oleh aktivitas merusak akibat ulah manusia. Sepanjang penyeberangan menuju ke Loeha Raya, mata kami dimanjakan beberapa pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sangat indah dan menenangkan. Bahkan, jarak tempuh selama kurang lebih 2 jam lamanya tidak terasa.
Dewasa ini bukan harga pasar merica yang membuat petani merica khawatir. Ada ancaman lebih besar terkait dengan digusurnya lahan merica petani oleh salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yakni PT Vale Indonesia. Konsesi yang ditetapkan sejak Rezim Soeharto tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar dalam pembahasan pun penetapannya. Dan sejak awal tahun 2022 PT Vale secara sepihak melakukan eksplorasi di Blok Tanamalia. Blok Tanamalia merupakan konsesi yang telah dimanfaatkan masyarakat secara turun temurun. Mulai dari mencari damar, rotan, sawah hutan hingga perkebunan lada atau merica. Pemanfaatan tersebut dilakukan jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk.
Blok Tanamalia juga termasuk tutupan hutan hujan yang turut dijaga oleh masyarakat. Areal perkebunan tidak serta merta digarap petani. Petani tidak menggarap perkebunan di dekat mata air karena akan merusak sumber air. Hal tersebut disampaikan salah satu petani yakni Lismar. Petani sangat menjaga sumber air karena mereka sadar air sangat dibutuhkan baik dalam keperluan berkebun juga kebutuhan mendasar sehari-hari seperti minum. Hasma salah satu perempuan Loeha Raya juga menyampaikan bahwa
Jika tambang dilakukan kami akan kehilangan sumber mata air dan akan terjadi bencana karena tanah akan dikupas oleh alat berat. Dan itu semua kami yang akan rasakan dampaknya.
Selain kehilangan sumber mata air, masyarakat Loeha Raya yang umumnya bekerja sebagai petani akan kehilangan kebun. Seperti yang dituturkan oleh Nurhasia sembari matanya berkaca-kaca menahan air mata
Kalau perusahaan sudah melakukan kegiatan tambang kami petani mau hidup dari mana? Susah-susah kami garap ini kebun merica dan perusahaan tanpa ada pemberitahuan mau langsung gusur kebun kami.
Selain itu, Aswan, salah seorang petani Loeha Raya juga menyampaikan bahwa semenjak masyarakat mulai melakukan pergolakan menolak tambang berbagai tindakan intimidatif telah ia rasakan. Salah satunya adalah rumahnya berkali-kali didatangi oleh pihak Kehutanan dan aparat serta peristiwa ancaman oleh aparat keamanan di lokasi aksi beberapa bulan lalu ketika melakukan demonstrasi di Camp PT Vale.
Masyarakat Loeha Raya adalah masyarakat yang dalam kesehariannya menghabiskan waktu mereka di kebun. Mereka mengolah kebun merica di beberapa daerah dengan penamaan lokal seperti Tomabeta, Toma’raka, Lengkona, Lemo-lemo, Barung Lemo, Barung Bonde, dan masih banyak lagi. Musim panen merica biasanya dimulai dari Oktober – Mei, saat musim beratus ribu ton merica dihasilkan. Hasilnya dijual kepada pengepul merica lalu dilempar ke pasar baik dalam negeri (seperti: Makassar, Surabaya, Bangka Belitung) maupun luar negeri melalui eksportir merica. Harga jual merica di Loeha Raya saat ini mencapai Rp 65.000/kg. Turun drastis dibanding beberapa tahun khususnya sekitar tahun 2010-2015 di mana harga merica perkilo tembus angka Rp 160.000. Harga pasar yang naik turun hanyalah satu di antara beberapa tantangan yang dihadapi petani merica Loeha Raya.
Keresahan-keresahan ini disampaikan ke kami dalam diskusi di rumah kebun salah satu petani yang berlokasi di Barun Lemo serta rumah seorang petani di Rante Angin. Dalam hari yang sama meskipun waktunya berbeda. Pertemuan dihadiri beberapa petani dan perempuan yang gigih memperjuangkan hak mereka sebagai petani dan perempuan.
Upaya Apa yang Telah Dilakukan Petani-Perempuan Loeha Raya ?
Mengetahui dampak dan kerentanan yang akan dirasakan, petani-perempuan melakukan pengorganisiran. Berupa penyadaran persuasif dan rutin membuat diskusi membahas setiap langkah yang dilakukan. WALHI Sulawesi Selatan pun turut membersamai gerakan petani-perempuan dengan menyarankan beberapa langkah advokasi seperti melakukan riset partisipatif (lebih spesifik mengumpulkan data petani), mengupayakan pertemuan dengan instansi pusat, dan melakukan kampanye kreatif (seperti: membuat infografis, menghimpun cerita dari tapak, membuat video singkat dan film dokumenter). Petani-perempuan dilibatkan secara aktif agar mereka juga mengetahui langkah apa yang sebaiknya diambil dalam menjalankan gerakan. Semua itu agar gerakan petani-perempuan Loeha Raya terukur dan minim risiko.
Tidak hanya menghimpun gerakan akar rumput, WALHI Sulawesi Selatan juga menghimpun gerakan dengan eskalasi yang lebih besar. Menggaet lembaga lingkungan-ham-perempuan di Sulawesi Selatan dan berupaya berjejaring skala Internasional. RdR (Rettet den Regenwald e.V.) dan YLNM (Yes to Life, No to Mining) adalah organisasi internasional dengan konsen penyelamatan hutan hujan serta aliansi advokasi dan kampanye anti tambang. Lembaga dan aliansi tersebut membersamai The Toxicity Tour around Sulawesi.
Mereka membagikan perjuangan di negara masing-masing. Bagaimana upaya penyelamatan hutan hujan dengan menempuh jalur lobby pada penentu kebijakan, mengkampanyekan kerusakan lingkungan akibat tambang, bahkan membagikan cerita PT Vale Brasil yang menewaskan 300 orang tidak bersalah karena kegiatan pertambangan. RdR dan YLNM juga memberikan dorongan semangat serta ‘mendapatkan semangat baru’ melihat perjuangan petani dan perempuan di Loeha Raya. Mereka sangat bangga karena petani-perempuan Loeha Raya berani menyuarakan aspirasi hingga ke instansi pusat. Komitmen untuk mendukung perjuangan petani-perempuan juga menjadi semangat balik ke masyarakat Loeha Raya. Mereka semakin bersemangat karena mengetahui perjuangan menyelamatkan perkebunan merica dan hutan didukung oleh banyak pihak.The Toxicity Tour around Sulawesi di Loeha Raya ditutup dengan wisata bersama di Pulau Loeha. Dengan menaiki baggo-baggo (perahu kecil menggunakan mesin lengkap dengan baling-baling). Semakin membuat takjub karena kejernihan air serta keanekaragaman hayati lainnya seperti ikan, kerang, dan pepohonan rimbun.
Penulis: Nur Herliati Hidayah Herman
Sumber: https://walhisulsel.or.id/4230-the-toxicity-tour-around-sulawesi-cerita-dari-tapak-sulawesi-selatan-sulawesi-tenggara-sulawesi-tengah/
Sayaselain penulis, Nur Herliati Hidayah Herman, juga aktivis Selamatkan Hutan Hujan ikut perjalanan dari Loeha Raya