Pernyataan Resmi Masyarakat dan Aliansi Sulawesi Terkait KTT G20 Di Nusa Dua Bali
14 Nov 2022
“Selamatkan Masyarakat dan Hutan Hujan Sulawesi: Hentikan Pembiayaan dan Investasi di Sektor Pertambangan Nikel dan Smelter, serta Pembangkit Listrik Batubara Pendukungnya di Indonesia. Kendaraan Listrik Adalah Solusi Palsu untuk Perubahan Iklim”
KTT G20 akan segera digelar di Nusa Dua Bali. Para pemimpin negara maju dan berkembang akan berkumpul untuk membahas masalah yang terjadi di seluruh dunia, terutama krisis ekonomi yang mulai dialami negara-negara di Eropa dan Amerika. Krisis ini juga akan melanda Indonesia dan negara-negara selatan dunia lainnya karena ketergantungan mereka pada investasi asing.
Oleh karena itu, salah satu kepentingan negara berkembang dalam G20 adalah memastikan agar modal asing milik investor Eropa dan Amerika tidak ditarik dari Indonesia akibat kenaikan suku bunga di bank-bank Eropa dan Amerika. Selain itu, kepentingan Indonesia di KTT G20 adalah untuk meyakinkan negara-negara maju agar terus meningkatkan investasinya di Indonesia, terutama di sektor energi, transportasi, dan bahan baku yang terkait dengan teknologi dan kendaraan listrik.
Kami yakin pada pertemuan G20 ini, pemerintah Indonesia akan menawarkan kepada negara-negara maju sehubungan dengan potensi nikel yang terdapat di hutan hujan Indonesia, khususnya di pulau Sulawesi. Apalagi, Indonesia berambisi untuk menjadi produsen bahan baku baterai kelas dunia untuk mendukung produksi kendaraan listrik dunia. Pemerintah dan negara Indonesia pun diharapkan menjadi tuan rumah pameran kendaraan listrik dengan mengusung tema transisi energi.
Sehubungan dengan KTT G20 tersebut, Aliansi Sulawesi, sebuah koalisi NGO di Pulau Sulawesi yang bekerja untuk perlindungan lingkungan dan penegakan hak asasi manusia merasa penting untuk mengungkapkan aspirasi dan keinginan masyarakat di Pulau Sulawesi kepada para pemimpin dunia menjelang pertemuan G20. Hal ini kami anggap krusial karena kebijakan pemerintah Indonesia seringkali tidak mencerminkan kehendak rakyat.
Para pemimpin negara-negara G20, terutama Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa, Jepang, Cina, dan Australia, seharusnya memperhatikan kehidupan masyarakat di Indonesia yang semakin miskin, utamanya yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini utamanya dirasakan oleh petani dan keluarga nelayan yang tinggal di sekitar tambang nikel dan smelter serta pembangkit listrik mereka yang kotor.
Sebelum penambangan nikel meluas ke hutan hujan di Sulawesi, petani di Morowali, Morowali Utara (Sulawesi Tengah), Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Konawe, Konawe Utara dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara bisa mengandalkan dua kali panen dalam setahun. Namun, setelah tambang dan smelter nikel mulai beroperasi, masyarakat sering mengalami banyak gagal panen karena sawah mereka tercemar lumpur tambang dan limbah smelter. Akhirnya, petani terpaksa menjual sawahnya karena sudah tidak layak lagi.
Selanjutnya, pencemaran sungai dan laut merupakan dampak tak terelakkan dari aktivitas penambangan dan peleburan nikel. Para pemimpin negara yang mempromosikan kendaraan listrik harus tahu bahwa kehancuran di Pulau Sulawesi akibat tambang dan smelter nikel tidak hanya menjadi masalah di hutan hujan, tetapi juga meluas ke garis pantai.
Setiap turun hujan, lumpur tambang tersapu ke Sungai Malili di Sulawesi Selatan, sehingga sungai tersebut tercemar dan berubah warna menjadi merah. Lumpur terbawa ke laut, mencemari garis pantai, menipiskan stok ikan dan berdampak pada mata pencaharian keluarga nelayan, serta memaksa mereka untuk berlayar lebih jauh dari sebelumnya untuk menangkap ikan akibat wilayah tangkapnya tercemar limbah nikel.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Lampia, Kabupaten Malili, Sulawesi Selatan dimana lumpur bekas tambang nikel langsung mencemari laut. Tim WALHI Sulsel mengamati pencemaran lumpur tambang nikel di pesisir Lampia sudah mencapai 100 meter ke laut, juga berdampak pada hutan mangrove di pesisir Lampia. Hal ini secara dramatis berdampak pada mata pencaharian keluarga nelayan di Lampia.
Dampak penambangan nikel juga dialami oleh perempuan: Bagi perempuan di Sorowako, khususnya masyarakat adat Karonsie, tambang dan smelter nikel milik perusahaan Brazil, Kanada dan Jepang telah menghancurkan impian mereka akan kehidupan yang baik dan mandiri dengan mengolah tanah mereka sendiri.
Tanah dan kebun adat mereka dirampas oleh perusahaan tambang nikel tanpa ganti rugi bahkan diubah menjadi lapangan golf milik perusahaan. Mereka tidak lagi memiliki akses air bersih dan terpaksa mengkonsumsi air sungai kotor yang tercemar lumpur tambang nikel. Selain itu, pemukiman masyarakat saat ini telah dipagari dengan sangat tidak menghormati hak tanah adat masyarakat Karonsie.
Perluasan lokasi penambangan nikel terbaru di Sulawesi Selatan telah menyebabkan penggusuran dan perampasan kebun lada milik masyarakat yang telah memberikan penghasilan dan menghidupi keluarga mereka selama bertahun-tahun. Konflik sosial sudah diprogram sebelumnya di sini.
Potret kerusakan hutan hujan yang berdampak pada rusaknya sumber kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, juga terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, akibat lumpur penambangan dan limbah tailing dari smelter nikel perusahaan China, para nelayan di Morowali harus pasrah kehilangan mata pencaharian mereka.
Hal ini diakibatkan karena pesisir dan laut yang selama ini menjadi sumber pendapatan nelayan, tercemar lumpur tambang dan limbah peleburan nikel. Akibatnya, nelayan memutuskan untuk berhenti melaut dan memilih menjadi buruh bangunan dan buruh pabrik smelter yang penghasilannya jauh dibandingkan saat menjadi nelayan.
Yang paling buruk di Sulawesi Tengah saat ini adalah tambang dan pembangunan pabrik peleburan niken telah menciptakan konflik agraria.
Di Kabupaten Morowali Utara, sawah dan kebun petani harus diambil paksa oleh perusahaan tanpa konsultasi dan kompensasi. Masyarakat kini harus hidup tanpa tanah karena tanah yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan masyarakat harus hilang karena diambil paksa untuk perusahaan tambang dan pembangunan pabrik peleburan nikel. Sehingga bagi kami, perluasan pertambangan nikel di Pulau Sulawesi adalah malapetaka bagi masyarakat khususnya petani dan perempuan.
Terlepas dari dampak besar tambang dan smelter nikel terhadap hutan, sungai, pesisir, dan masyarakat di Pulau Sulawesi, kami sangat yakin bahwa nikel, baterai, dan kendaraan listrik bukanlah obat mujarab bagi krisis iklim global karena alasan berikut:
- Peningkatan produksi nikel di Indonesia, serta baterai dan kendaraan listrik di belahan bumi Utara, secara langsung berkontribusi terhadap rusaknya hutan hujan, khususnya di Pulau Sulawesi. Hutan hujan ini sangat penting bagi lingkungan, kehidupan masyarakat, dan iklim dunia. Hutan hujan di Pulau Sulawesi menyerap karbon yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik di Indonesia, serta industri dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil di belahan bumi Utara. Oleh karena itu sangat salah menyebut industri kendaraan listrik dimana bahan bakunya diperoleh dari perusakan hutan disebut sebagai produk ramah lingkungan dan solusi bagi perubahan iklim.
- 80 persen energi listrik yang menggerakkan smelter nikel di Sulawesi bersumber dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, bisnis ramah lingkungan, dan mitigasi perubahan iklim yang saat ini sedang disuarakan oleh para pemimpin dunia. Penggunaan tenaga batu bara di smelter sebenarnya menggandakan emisi yang terkait dengan produksi nikel.
- Dengan meningkatnya permintaan batubara, produksi nikel yang lebih tinggi di Sulawesi juga mempercepat perusakan hutan di pulau-pulau lain, terutama di Kalimantan, pusat utama kegiatan penambangan batubara di Indonesia. Selama produksi kendaraan listrik melibatkan penghancuran hutan hujan di Sulawesi dan Kalimantan, serta meningkatkan emisi karbon, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai solusi untuk perubahan iklim.
- Pertimbangan terakhir adalah penggunaan energi kotor sebagai daya untuk mengisi kendaraan listrik: Selama bahan bakar fosil digunakan sebagai sumber tenaga listrik paling dominan di dunia, maka kerusakan lingkungan dan iklim akan terus berlanjut. Karena semakin banyak orang menggunakan mobil listrik, tambang nikel dan batu bara akan terus menggerogoti hutan hujan, dan semakin banyak pembangkit listrik berbahan bakar batu bara akan dibangun.
Oleh karena itu, investasi dan pembiayaan industri nikel di Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi dari hulu hingga hilir, semakin memperkuat laju kerusakan hutan hujan yang berkontribusi pada laju perubahan iklim yang semakin mengerikan. Selain itu, kehidupan masyarakat adat dan lokal yang saat ini miskin akan semakin miskin, karena sumber mata pencaharian mereka juga rusak bahkan hilang.
Untuk menyelamatkan hutan hujan yang tersisa di Indonesia dan kehidupan masyarakat, khususnya perempuan dan masa depan anak-anak di pulau Sulawesi, maka kami Aliansi Sulawesi mewakili seluruh masyarakat, petani dan keluarga nelayan yang terkena dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan industri nikel, menyerukan kepada para pemimpin negara-negara G20, terutama Presiden China, Xi Jinping dan MDBs, untuk membuat komitmen tegas agar mengakhiri investasi di tambang nikel, pembangunan smelter nikel, industri baterai, dan pembangkit listrik tenaga batu bara terkait di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi.
Kami juga menuntut para pemimpin politik dan bisnis di negara-negara G20 berhenti mempromosikan kendaraan listrik sebagai alternatif dan solusi ramah lingkungan untuk mengatasi krisis ekonomi dan iklim.
Oleh karena itu, secara kongkrit kami menuntut:
- Kepada pemimpin-pemimpin negara Group 20 khususnya Presiden Amerika, China Perdana Menteri Kanada, Jepang, Inggris, Pemimpin Uni Eropa serta Kanselir Jerman untuk membuat komitmen tegas agar menghentikan dukungan investasi yang merusak hutan hujan di seluruh dunia, khususnya di Pulau Sulawesi, Indonesia. Secara konkrit kami menuntut untuk menghentikan dukungan investasi di sektor pertambangan, khususnya pertambangan nikel.
- Kepada lembaga-lembaga keuangan internasional untuk menghentikan dukungan pembiayaan pada sektor pertambangan, khususnya pertambangan nikel di Indonesia. Juga termasuk pembiayaan untuk membangun pembangkit listrik yang kotor untuk menggerakan pabrik peleburan nikel. Lembaga-lembaga keuangan internasional harus mengalihkan pembiayaan dan investasi pada bisnis yang berkelanjutan, khususnya yang melindungi hutan hujan di seluruh dunia.
- Kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi untuk segera menghentikan penerbitan izin-izin usaha pertambangan, khususnya izin usaha pertambangan nikel. Selain itu, kami menuntut kepada Presiden Jokowi untuk mencabut izin-izin pertambangan yang telah merusak hutan hujan di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Terakhir, kami juga mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mendukung Aliansi dan masyarakat Sulawesi untuk menghentikan perusakan hutan hujan di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Melindungi hutan hujan adalah cara paling ampuh untuk melestarikan kehidupan di bumi kita.
Makassar, 14 November, 2022
Aliansi Sulawesi
Sunardi Katili, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah
Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Utara
Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan
Saharuddin, Direktur Eksekuitf WALHI Sulawesi Tenggara
Asnawi, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Barat.
Organisasi yang turut mendukung:
1. Satya Bumi
2. Green Youth Movement
3. Just Finance International