Asap di Indonesia: Larang sawit di gambut! Cabut ijin PEAK!
Tak bisa dibayangkan! Hutan gambut di Indonesia dibakar. Pemerintah telah mengijinkan PT. Persada Era Agro Kencana (PEAK) merusak kubah gambut yang sangat penting. Tuntut pemerintah mencabut ijin PT. PEAK dan pastikan bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi!
seruanKepada: Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya Bakar
“Merubah sistim perijinan bagi perkebunan sawit dan mencabut ijin PT. PEAK”
Api di areal perkebunan sawit milik PT. PEAK di Katingan, Kalimantan Tengah, menghanguskan lebih dari 50 hektar rawa gambut yang kaya kandungan karbon. PT.PEAK hanya memiliki satu-satunya pompa air untuk memadamkan api. „Sebuah formalitas belaka“, ujar Reza Lubis, ahli ekologi dari Wetlands International. Ia cemas akan lahan yang terbakar. „PT. PEAK menyatakan bahwa kebakaran itu terjadi di desa. Pernyataan palsu ini membuat penduduk marah.“
Emisi dari tanah gambut yang dikeringkan berjumlah lebih dari 50% dari jumlah gas rumah kaca keseluruhan di Indonesia. Pemerintah bukannya mencegah kebakaran hutan dan polusi asap serta menepati komitmennya mengurangi gas rumah kaca, malah terus mengijinkan pembakaran perkebunan di rawa gambut.
Presiden Jokowi telah memantau langsung kebakaran di Kalimantan dan melihat sendiri polusi asap. Pertengahan Oktober jumlah indeks polusi udara naik hingga lebih dari 3000 mikrogram per meter kubik udara – berarti tingkat berbahyanya 10 kali lebih besar. Kebanyakan partikel debu berasal dari tanah gambut.
Lahan gambut sejak tahun 2011 dilindungi oleh moratorium. Tapi bagaimana bisa PT. PEAK telah mendapatkan ijin? Siapa yang telah merubah peta moratorium? Di peta tersebut jelas tertera areal rawa gambut yang dilindungi. Kubah gambut disana termasuk dalam kubah gambut besar yang masih tersisa di Indonesia bagian barat dan sangat penting bagi biodiversitas serta orang utan. Di sana karbon yang jumlahnya sangat banyak disimpan dan sangat penting bagi iklim global, penyimpanan air dan eksistensi penduduk lokal.
Desaklah pemerintah Indonesia merubah sistim perijinan perkebunan yang selama ini membuat bencana lingkungan hidup, iklim dan sosial ekonomi.
Tuntutlah Ibu Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut segera ijin PT.Persada Era Agro Kencana.
Latar belakangKebakaran hutan gambut dan asap 2015
Sejak beberapa tahun ini di Indonesia tiap tahunnya terjadi kebakaran hutan dan bencana asap tebal dari hutan dan rawa gambut yang dibakar. Banyak penduduk menderita sakit pernafasan oleh karenanya. Terbakarnya hutan hujan yang masih tersisa menyebabkan beban ekonomi bagi negara-negara yang terkena dampak. Parahnya kebakaran gambut di tahun ini sangat jelas menunjukkan besarnya kerugian. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand tiap tahunnya dilanda asap yang beracun. Konsentrasi kabut dan debu jumlahnya melampaui 10 kali dari jumlah yang ditolerir. Hal ini berdampak sangat buruk bagi eksistensi dan kesehatan penduduk. Lihatlah film dari Al Jazeera tentang kebakaran di dekat perkebunan sawit milik PT. Peak di Katingan.
Hutan dan rawa gambut
Wilayah rawa gambut adalah wilayah lembab yang terdiri dari bahan organik yang lembab karena genangan air. Gambut mengandung sekitar 90% air dan 10% tanaman mati (terutama karbon) yang diendap selama berabad-abad. Wilayah gambut ada di seluruh dunia dengan tumbuh-tumbuhan dan karakteristik yang khas. Beberapa rawa gambut ditutupi oleh lumut dan ganggang. Rawa gambut lainnya seperti di Indonesia ditutupi oleh hutan hujan yang besar.
Wilayah gambut Indonesia (seperti di pantai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) adalah ketiga terbesar di dunia. Namun wilayah gambut ini cepat menyusut dan rusak karena ekspansi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Rawa gambut tropis adalah tempat tinggal biodiversitas yang unik dan hewan yang terancam punah, contohnya orang utan, tapir dan harimau sumatera. Rawa gambut merupakan sebuah ekosistim yang sangat berharga, karena menyimpan karbon yang sangat banyak dan memiliki peranan penting sebagai penyimpan air dan menghindari banjir, kekeringan dan kebakaran. Selain itu rawa gambut yang kaya akan ikan dan produk hutan lainnya ini menjadi sumber kehidupan manusia. Bagi perekonomian nasional rawa gambut juga berperan penting.
Emisi dari deforestasi dan pembakaran hutan
„Konversi“ hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dan monokultur akasia bagi industri kertas menuntut penebangan hutan dan drainase. Ini mengakibatkan tanah gambut menjadi kering dan cepat terbakar. Drainase merusak struktur gambut dan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca menghasilkan karbon dioksia (CO2) – hal ini menyebabkan perubahan iklim. Emisi dari tanah gambut dan hutan rawa gambut yang dirusak berjumlah 15 ton karbon tiap tahun dan hektarnya, menurut sebuah studi.Ini terus berlangsung hingga gambut terurai habis. Lahan gambut yang telah mengering adalah titik api emisi karbon dioksida.
Meskipun dibanding dengan keseluruhan luas tanah pertanian di Indonesia, luas tanah gambut hanya 6% darinya, namun tanah gambut yang dirusak menghasilkan lebih dari 50% keseluruhan jumlah emisi di Indonesia.Ini belum termasuk emisi dari kebakaran gambut. Dalam tahun-tahun kebakaran seperti tahun 1997 dan 2015 jumlah emisi dari deforestasi dan kebakaran hutan hampir sepertiga dari jumlah emisi diseluruh dunia.
Lahan gambut menyusut
Dengan hilangnya karbon maka volume tanah gambut berkurang dan menyusut sekitar 3 hingga 6 cm tiap tahun. Penyusutan ini akan terus berlanjut selama rawa gambut terus dikeringkan. Bila permukaan gambut sedatar dengan permukaan sungai atau pantai maka akan terjadi banjir dan hilangnya produktivitas.
Jika business as usual terus berlanjut, maka ribuan kilometer garis pantai dan jutaan hektar dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan akan susut. Dengan begitu bencana sosial-ekonomi telah diprogram sebelumnya. Tidak hanya penduduk akan kehilangan sumber kehidupannya tapi juga banyak perusahaan yang akan gulung tikar.
Politik iklim di Indonesia
Pemerintah Indonesia pada perundingan iklim PBB (UNFCCC) telah berjanji mengurangi emisinya hingga tahun 2010 sebesar 26% atau hingga 41% bila pihak asing membantu. Hingga tahun 2030 jumlah emisi akan dikurangi sebesar 29% (menurut kewajiban yang terbaru).
Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia telah membuat peraturan baru bagi perlindungan dan pengelolaan ekosistim gambut (PP 71/2014). Tujuannya „mencapai fungsi dari ekosistim gambut dan menghindari kerusakan“. Sejak 2011 berlaku moratorium yang melarang perkebunan baru di lahan gambut. Dibawah pemerintahan Presiden Jokowi masa moratorium ini diperpanjang (instruksi presiden no. 8/2015).
Management lahan gambut berkelanjutan
Lahan gambut bisa dikelola secara berkelanjutan tanpa mengganggu layanan jasa ekologinya. Berbatasan dengan perkebunan sawit milik PT. PEAK yang terletak di atas kubah gambut yang sama, Katingan Ecosystem Restoration Concession berhasil melindungi dan merevitalisasi lapisan gambut. Biodiversitas akan dipertahankan, basis sumber daya alam dikembalikan seperti semula dan perlindungan ekosistim gambut untuk mencegah kebakaran dan oksidasi karbon. Dengan begitu besarnya emisi dari karbon dioksida bisa dihindari.
Seperti yang jelas terlihat dari peta ini, kebakaran di perkebunan PT. PEAK mengancam restorasi ekosistem gambut.
Dari lahan gambut yang berkelanjutan, masyarakat lokal juga akan bisa mendapatkan keuntungan management praktis. Penduduk bisa juga menjalankan paludikultur (lahan gambut berkelanjutan), artinya: tumbuhan rawa gambut yang bisa menyokong perekonomian penduduk ditanam di atas tanah gambut yang sudah dibasahkan kembali. Contohnya pohon sagu yang menjadi salah satu makanan pokok, tengkawang dengan kayunya yang keras dan buahnya yang berminyak, jelutung, pohon kayu tropis lainnya dan rotan. Selain suaka alam, paludikultur merupakan salah satu lahan guna berkelanjutan di wilayah gambut yang memberikan sumber makanan masyarakat dalam jangka panjang.
Paludikultur mempunyai andil bagi restorasi tanah gambut yang terdegradasi dan kekeringan, juga membantu perlindungan atas kebakaran, atas surutnya permukaan dan bahaya banjir yang tidak bisa dihindari.
Kepada: Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya Bakar
Bapak Presiden dan Ibu Mentri,
Pemerintah Indonesia telah memberikan ijin perkebunan sawit di lahan gambut kepada PT. Persada Era Agro Kencana di kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Perijinan ini sangat bertentangan dengan moratorium yang melarang perkebunan baru di tanah gambut (Inpres no. 8/2015), dan tidak sesuai dengan kerangka program pengelolaan lahan gambut, termasuk kepres PP 71/2014.
Sudah jelas bahwa perkebunan yang diijinkan itu berada diatas lahan gambut. Namun di peta moratorium yang telah direvisi, wilayah perkebunan ini telah dirubah menjadi „tidak diatas lahan gambut“. Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini?
Selain itu perkebunan ini terletak di perbatasan dengan konsensi restorasi tanah gambut Katingan (ERC: Katingan Ecosystem Restoration Concession) di bawah management PT Rimba Makmur. Drainase perkebunan sawit berpengaruh langsung pada proyek ini. Bagaimana bisa terjadi bahwa kasus ini tidak mengindahkan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)? Sebelum proses perijinan, AMDAL harus diteliti dan diperhitungkan terlebih dahulu. Saya mengajukan pertanyaan kepada Anda: Siapa yang bertanggung jawab atas pemberian ijin palsu itu?
Nampaknya perusahaan seperti PT. PEAK dan lain sebagainya bisa mengelak dari rintangan hukum. Apakah PT. PEAK sangat pintar? Atau pemerintah Indonesia tidak mampu mengimplementasi politik dan hukumnya? Apakah keinginan politiknya yang tidak ada? Persoalan ini merupakan benturan ke kepala: Perkebunan ini terletak di tengah-tengah Strategi Daerah REDD+ Kalimantan Tengah.
Deforestasi dan pengeringan rawa gambut menghasilkan setengah dari jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam perjanjian lingkungan internasional (United Nations Framework Convention on Climate Change) berjanji mengurangi emisi sebesar 26% dan dengan bantuan pihak asing akan sebesar 41%.
Timbul pertanyaan apakah pemerintah Indonesia benar-benar memegang janjinya, atau terus menjalankan business as usualnya dan membiarkan hutan rawa gambut hancur? Anda tahu, deforestasi dan drainase akan mengakibatkan cepatnya kebakaran di perkebunan sawit. Akibatnya: Bencana asap dan gangguan akan kesehatan dan kelangsungan hidup penduduk setempat. Bencana ini juga berbahaya bagi proyek-proyek restorasi, seperti ERC.
Wetlands International bulan lalu telah mengunjungi perkebunan PEAK dan telah melihat kebakaran yang luar biasa. Jelas terlihat bahwa perusahaan tidak mampu menanggulangi kebakaran. Kebakaran telah menyebar ke daerah sekitarnya juga ke dareah ERC. Bahwa PEAK terang-terangan telah menyalahkan penduduk setempat, hal ini menyebabkan konflik terus memanas.
Meskipun dengan management yang terbaik, tanah gambut akan terus surut oleh karena air yang selalu mengurang (drainase) dan karbon juga (emisi akibat dari drainase). Tiap tahunnya permukaan tanah gambut susut 3-6 cm. Suatu saat akan mencapai garis batas drainase. Maka dampaknya adalah banjir rutin berkepanjangan hinga tanah akhirnya benar-benar terdegradasi. Hanya dalam satu dekade perusahaan mengeruk keuntungan dari minyak sawit. Kemudian perusahaan-perusahaan tersebut mewariskan generasi masa datang hanya tanah yang tidak produktif lagi. Cukup banyak tema tentang perlawanan menentang kemisikinan! Hak masyarakat memberikan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang dini dan tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent) adalah hak yang semestinya. Hal ini berguna untuk menghindari konflik dengan proyek yang bermasalah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya mempunyai politik hutan gambutnya. Namun mengapa itu tidak dilaksanakan? Mengapa PT. PEAK mendapatkan ijin di hutan rawa gambut itu? Daerah itu merupakan bagian dari kubah gambut belukar yang masih tersisa dan sangat penting bagi biodiversitas. Besarnya kandungan karbon yang disimpan di tempat itu sangat berguna bagi perlindungan iklim, penyimpanan air dan eksistensi penduduk setempat.
Saya sarankan agar Anda mencabut ijin yang merusak iklim dan yang membuat bencana sosial-ekonomi itu. Ijin itu bertentangan dengan segala kewajiban di tingkat nasional dan internasional hasil dari Konferensi Perubahan Iklim PBB, Konferensi Biodiversitas PBB dan perundang-undangan di Indonesia.
Saya menuntut Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut ijin perusahaan PEAK.