
Tambang tidak abadi! Sulawesi bankrut!
Dengan masifnya izin tambang dan pembangunan kawasan industri di Sulawesi Tengah, tingkat kemiskinan provinsi ini tetap tinggi. Pada Hari Anti-Pertambangan, Moh Taufik, direktur JATAM Sulteng, bicara tentang dilema tambang. Warga kehilangan sumber kehidupan karena sawah dan laut tercemar.
Anda dapat membaca artikel lengkap oleh Moh Taufik HATAM 2025: Sulteng Bankrut! dan Betahita: Sulteng Bankrut karena Nikel - Riset Jatam selengkapnya di sini.
Kondisi Sulteng dalam satu dekade hilirisasi tambang
Sulawesi Tengah yang kaya akan sumber daya alam menjadi salah satu pusat ekstraksi nikel di Indonesia. Diterbitkannya 125 Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) nikel. Selain itu, Sulteng juga mempunyai 3 kawasan industri pengolahan nikel yaitu kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP), PT Indonesia Huabao Industrial Park (PT IHIP) dan PT Stardust Estate Investment (PT SEI).
Pemerintah memprioritaskan tambang sebagai tumpuan ekonomi dengan memberikan perlindungan/penjaminan terhadap aktivitas ekstraksi ini melalui status Proyek Strategis Nasional. Kawasan industri vital ini mendapatkan kemudahan pengurusan izin dan selalu dijaga ketat oleh aparat negara baik polisi maupun tentara.
Perkembangan Izin Tambang Di Sulawesi Tengah
Dari analisis yang kami lakukan, terdapat 682 izin tambang yaitu itu mineral logam (125 IUP nikel, emas, besi) sejumlah 131 izin dan tambang batuan (pasir, batu, batu gamping, dll) 527 izin. Luas konsesi tambang adalah sebesar 500.000 hektar dan mencaplok 12,5% dari daratan Sulawesi Tengah.
Dengan masifnya izin tambang yang diterbitkan pemerintah, dan juga pembangunan kawasan industri, seharusnya Sulawesi Tengah dapat menjadi provinsi yang maju dengan tingkat kemiskinan yang rendah. Faktanya, kemiskinan di Sulawesi Tengah ada di angka 11,77, masih di atas rata-rata nasional 9,03%.
Masalah-masalah yang timbul dalam pertambangan
Nihilnya Konsultasi bermakna
Masalah pertama adalah tidak adanya konsultasi yang memadai dan bermakna antara perusahaan dengan masyarakat. Berdasarkan data JATAM melalui pendampingan terhadap warga dalam kurun 10 tahun terakhir, di seluruh wilayah pusat ekstraksi besar seperti Kab. Morowali, Kab. Morut, dan Kab. Banggai, perusahaan-perusahaan tambang itu tidak melakukan konsultasi dengan mengundang seluruh perwakilan warga sebelum beroperasi. Banyak informasi yang tidak dibuka secara terang benderang oleh perusahaan maupun pemerintah. Dokumen perizinan seperti IUP dan AMDAL tidak dibuka. Diskursus mengenai dampak negatif kerusakan lingkungan seperti risiko pencemaran sumber air dan pesisir tidak dibicarakan secara serius. Sosialisasi kepada warga hanya untuk menyelesaikan kewajiban perintah undang-undang. Dalam beberapa kasus, warga yang menolak tidak dilibatkan.
WIUP/Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), diterbitkan berdasarkan keputusan pemerintah setelah pemohon WIUP memenuhi syarat administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, dan finansial.
Sumber Air Tercemar
PT Koninis Fajar Mineral beroperasi di Kec. Bunta, Kab. Banggai dengan izin seluas 2.738 hektar. Pada bulan Juni tahun 2022, terjadi banjir bandang di Desa Pongian yang menyebabkan tercemarnya Sungai Pongian oleh lumpur dari tambang. Warga sudah tidak bisa menggunakan Sungai Pongian untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan rumah tangga.
Permasalahan lingkungan seperti kerusakan hutan, banjir, tercemarnya sumber air warga, pasti akan berdampak terhadap lingkungan dan warga sekitar.
Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Perempuan adalah korban yang paling menderita ketika tambang beroperasi. Dalam kebudayaan patriarki seperti di Sulawesi Tengah, perempuan mengurus kebutuhan makanan, mencuci pakaian, dan berbagai aktivitas domestik lainnya. Oleh sebab itu, ketika sumber air terganggu, rusak atau tercemar, perempuan yang paling merasakan dampaknya. Dengan banyaknya ketergantungan perempuan terhadap air, sangat disayangkan partisipasi perempuan dalam menentukan rencana pengelolaan sumber daya alam sangat minim.
Tambang dan Kemiskinan
Dalam 10 tahun terakhir, eksploitasi SDA di sektor pertambangan sangat masif. Hal ini disebabkan adanya pembangunan smelter. Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sejak Januari 2014 pemerintah mewajibkan membangun smelter dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah yang sering disebut dengan istilah hilirisasi. Pada 2017 PT IMIP melakukan uji coba produksi smelternya dan sejak saat itu, eksploitasi tambang meningkat.
Berdasarkan data kemiskinan di Kab. Morowali dan Morowali Utara, sebelum periode pra hilirisasi (2004-2014), yakni periode saat kita fokus mengekspor biji kakao, biji kelapa dan biji-biji hasil pertanian lain, jumlah penduduk miskin turun sejumlah 8.560 jiwa. Sedangkan pada periode hilirisasi, periode masifnya ekspor biji nikel, (2014-2024) kemiskinan di Morowali dan Morut turun “hanya” sejumlah 2.310 jiwa.
Tambang dan Lapangan Pekerjaan
Pertambangan membuka lapangan pekerjaan, itu bisa kita lihat dari jumlah pekerja yang diserap dalam beberapa kawasan industri seperti yang dilaporkan yaitu PT IMIP 84.000 pekerja, PT SEI yang diproyeksikan akan menyerap 60.000 pekerja. Tetapi dalam waktu yang sama pertambangan juga menutup lapangan pekerjaan lain. Misalnya di Desa Fatufia, Kab. Morowali di mana limbah PLTU yang dibuang ke laut, menyebabkan air laut panas dan pesisir rusak yang berdampak terhadap pengurangan jumlah tangkapan nelayan. Di Desa Ganda-Ganda Kab. Morut, pesisir pantai dan ekosistem karang yang menjadi rumah ikan dan biota laut rusak oleh lumpur merah dari lubang tambang. Akibatnya, nelayan susah mendapatkan ikan.
Di bidang pertanian, pertambangan berdampak terhadap tercemarnya pertanian warga. Pada Februari 2024, di Desa Onepute Jaya, sawah petani tercemar limbah tambang. Pada 2023, sekitar 40 hektar sawah di Desa Solonsa, Kab. Morowali lumpur dari aktivitas tambang masuk di persawahan warga.
Jika kita menggunakan hitungan kasar jumlah pekerja yang terlibat dalam pengelolaan sawah sebesar 10 orang per hektarnya, maka ada 400 orang yang kehilangan pekerjaan akibat aktivitas tambang.
Inilah dilema tambang itu: Ia membuka lapangan pekerjaan, sekaligus menutup pekerjaan lainnya
Tambang tidak abadi. Menurut beberapa perhitungan baik dari kalangan pemerintah maupun akademisi, cadangan nikel kita akan habis dalam 15 tahun sampait 25 tahun.
Oleh sebab itu. berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, menurut kami penting bagi pemerintah untuk melakukan beberapa hal, yakni:
-
Mengevaluasi seluruh aktivitas pertambangan untuk melihatapakah strategi pengelolaan SDA kita sesuai dengan tujuan sesuai amanat konstitusi.
-
Mengghormati hak veto dan kedaulatan rakyat dalam menentukan pengelolaan wilayahnya yang berkeadilan.
JATAM Sulawesi Tengah: HATAM 2025 - Sulteng Bankrut
Betahita: Sulteng Bankrut karena Nikel - Riset Jatam

Perlawanan terhadap pertambangan di Sulawesi
Penambangan emas, nikel, pasir dan bebatuan mengubah surga alam Sulawesi menjadi padang pasir yang gersang. Jaringan anti-tambang JATAM Sulteng melawan dengan jalur hukum dan kampanye.

Mobil listrik rakus bahan mentah
Mobil listrik meskipun lebih sedikit menghasilkan emisi CO2 daripada kendaraan yang membakar fossil fuel, tapi dalam produksinya memerlukan banyak bahan mentah.