Pembela Hutan Papua: Pelindung hutan terbaik adalah masyarakat adat
14 Okt 2024
Masyarakat adat harus diakui dan dilindungi secara resmi karena mereka adalah penjaga hutan terbaik. Itulah yang dikatakan oleh Dorthea Wabiser dari Papua. Dalam wawancara ini, ia meminta solidaritas kita.
Pembela HAM dan lingkungan hidup Dorthea Wabiser dari mitra kami Pusaka telah mengunjungi Eropa di bulan September dan Oktober. Ia turut serta dalam pembuatan film AFSYA - sebuah film tentang masyarakat adat yang mempertahankan hutan hujan yang sudah kami putar di Swiss, Belanda dan Jerman (Berlin).
Dalam interview ini Dorthea berbicara tentang bagaimana masyarakat adat Papua memperjuangkan hutan hujan Papua, apa yang bisa kita pelajari dari mereka dan bagaimana kita mendukung mereka?
Selamatkan Hutan Hujan: Dorthea, kamu kasih kami film AFSYA Membela Hutan Adat tentang masyarakat adat di Papua Barat Daya. Sebagai seorang staff di Pusaka, kamu telah mendampingi suku Afsya dalam perjuangan mereka mendapatkan hutannya dan pengakuan resmi sebagai komunitas masyarakat hukum adat. Film ini menunjukan banyaknya rintangan hingga akhirnya suku Afsya berhasil melindungi 40.000 hektar hutan dari perusakan selanjutnya. Ini suatu keberhasilan yang jarang diperoleh kelompok-kelompok adat lainnya.
Apakah pengakuan resmi wilayah mereka sebagai wilayah masyarakat adat berarti bahwa hutan betul-betul terlindungi dan pihak perusahaan tidak bisa lagi mendapatkan izin, contohnya untuk membangun perkebunan minyak sawit atau pertambangan?
Dorthea Wabiser: Seharusnya begitu, karena masyarakat adat telah mendapat jaminan hukum dari Pemerintah yang mengakui mereka sebagai pihak yang selama ini tinggal disana dari generasi ke generasi, menjaga dan mengelola hutan dengan sangat baik dan berkelanjutan.
Masyarakat adat telah mengalami banyak hal, misalnya apa yang dialami oleh suku Afsya. Mereka harus bekerja keras membuktikan keberadaan mereka dengan menyiapkan berbagai macam syarat seperti pemetaan wilayah (yang memakan waktu sangat lama), mendokumentasikan sejarah mereka, hingga menulis silsilah di dalam suku mereka.
Perusahaan harus menghormati keputusan Pemerintah ini. Jika perusahaan terus beroperasi, berarti perusahaan ini melanggar keputusan dan harus diproses hukum karena mencuri lahan.
Terlepas dari keputusan resmi Pemerintah, setiap proyek yang berurusan dengan masyarakat adat, harus mematuhi Prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC). Setiap rencana baik itu membangun perkebunan, penebangan hutan atau pertambangan, sebelumnya harus melewati FPIC. Artinya masyarakat adat diinformasikan sebelumnya dan bebas menentukan apakah mereka setuju atau tidak. Pada setiap tidak adanya atau kurang seriusnya proses FPIC, perusahaan bisa mendapat hukuman!
Selamatkan Hutan Hujan: Pusaka telah banyak pengalaman dengan proses pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya yang sangat rumit ini. Apakah menurut Pusaka pengakuan resmi ini adalah solusi terbaik untuk mengatasi kehilangan hutan dan keanekaragam hayati serta perubahan iklim?
Dorthea Wabiser: Pelindung hutan terbaik yang telah teruji adalah masyarakat adat sendiri. Masalahnya adalah masyarakat adat tidak terlindungi dan tidak mempunyai wilayah sendiri. Mereka tidak boleh menggunakan wilayahnya yang sudah mereka tempati sejak bergenerasi dan mereka tidak boleh menentukan wilayahnya. Sebaliknya, atas nama pertumbuhan ekonomi, hutan-hutan yang luas disewakan kepada perusahaan-perusahaan. Maka hutan dirusak karena negara berpendapat bahwa hutan adalah milik negara.
Padahal masyarakat adatlah yang hingga kini sangat baik mengatur penggunaan dan perlindungan hutan secara berkelanjutan. Undang-Undang Masyarakat Adat tidak ada. Perjanjian internasional tidak berlaku di sana. Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi ILO-Convention 169 (Konvensi Perlindungan Hak Masyarakat Adat). Konvensi ILO 169 adalah satu-satunya perjanjian internasional yang mengikat berdasarkan hukum internasional.
Instrumen internasional lainnya yang penting yaitu UNDRIP (Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat). Meskipun pemerintah Indonesia telah menanda tangani deklarasi tersebut, namun hukum internasional ini tidak dapat di implementasikan dengan maksimal karena menurut pemerintah Indonesia isitilah masyarakat adat ambigu dan tidak tepat dipakai di Indonesia.
Tanpa perlindungan yang resmi, masyarakat adat harus melewati proses pengakuan yang rumit. Untuk itulah mereka harus kerja keras agar diakui secara legal. Kesempatan ini mereka peroleh baru-baru ini. Surat keputusan pengakuan itu menjelaskan dengan detail wilayah hutan milik masyarakat adat. Ini sangat berguna agar hutan tidak dihancurkan oleh proyek-proyek yang mengganggu keberlangsungan hidup masyarakat adat. Keputusan resmi ini merupakan jalan terbaik untuk kehidupan yang lestari.
Selamatkan Hutan Hujan: Terutama hutan hujan di selatan Papua mengalami perusakan yang masif. Industri berbasis lahan menghancurkan hutan Papua Selatan. Untuk „Proyek Gula dan Bioetanol" diperlukan lahan hutan seluas 2 juta hektar. Sementara untuk „Merauke Intergrated Food and Energy Estate“ (MIFEE) hutan sudah kehilangan satu juta hektar. Wilayah penebangan yang luas, perkebunan baru minyak sawit dan eukaliptus telah terjadi. Apa yang dapat kami lakukan untuk mencegah perusakan hutan dan mendukung masyarakat adat?
Dorthea Wabiser: Tentang proyek-proyek ini, saya bersama dengan masyarakat adat suku Marind, Yeinan, Makleuw, Kimahima, Kanum dan seluruh pembela HAM lingkungan yang ada di Merauke telah banyak berdiskusi. Proyek-proyek ini, terutama „proyek gula dan bioetanol Merauke“, sangat mengancam kelangsungan hidup hutan dan penduduk. Masyarakat telah belajar dari MIFEE. Awalnya masyarakat dijanjikan akan hidup dengan sejahtera dari hasil proyek, namun di beberapa kampung seperti Zanegi dan Baad, masyarakat harus bekerja dua kali lipat untuk bertahan hidup.
Sungai-sungai dan rawa-rawa dimana pohon sagu tumbuh jadi tercemar oleh limbah perkebunan sawit. Ini menyebabkan air dan ikan teracun, bahkan ditemukan kasus-kasus stunting di kampung. Selain itu, konflik diciptakan oleh perusahaan di antara masyarakat di kampung.
Kami yang berada di lapangan bersama-sama menolak proyek ini. Kami telah melakukan demonstrasi di depan kantor pemerintah dan dengan tegas menyatakan menolak perkebunan tebu, pabrik gula dan proyek bioetanol di Merauke. Kami telah melakukan bagian kami di Merauke dan di Indonesia.
Kami berharap kawan-kawan internasional bersolidaritas bersama kami menyelamatkan hutan Papua dengan menyebarkan informasi ke seluruh dunia dari apa yang terjadi di Papua, juga memberi tekanan ke pemerintah untuk melindungi hutan di Papua.
Selamatkan Hutan Hujan: Kamu mendampingi beberapa komunitas adat di Papua, contohnya suku Awyu di Boven Digoel. Banyak dari mereka hidup dari alam dan melindungi alam dari serbuan perusahaan minyak sawit hingga ke pengadilan. Ini sangat menguras tenaga. Kamu juga ada pengalaman lainnya yang menyenangkan?
Dorthea Wabiser: Salah satu pengalaman yang selalu saya ingat dan membuat saya tersenyum adalah setiap kami pergi untuk mengolah sagu di hutan. Saya diajarkan untuk membuat makanan yang selalu kami makan di Papua, yang memiliki bahan dasar sagu seperti sagu bakar, sagu tempel (semacam pancake tapi dari sagu) dan papeda. Kami pergi ke dusun sagu, menebang pohon sagu yang menurut masyarakat sudah sesuai untuk ditebang dan mulai mengambil isi pohon dan mengolahnya sampai akhirnya jadi tepung sagu.
Pohon sagu membutuhkan setidaknya 10 tahun untuk tumbuh hingga bisa ditebang. Masyarakat selalu menanam pohon sagu dengan berpikir ‘Saya akan tebang ini nanti ketika saya tua’ atau ‘Saya menanam pohon ini agar anak saya bisa menebangnya nanti ketika ia dewasa’. Hal ini mengajarkan saya bahwa setiap aktivitas mereka di hutan, selalu memikirkan tentang generasi berikutnya.
Selamatkan Hutan Hujan: Meskipun banyak hutan hujan di Papua telah dirusak, kamu tetap berpengharapan penuh bahwa perusakan gila ini masih bisa dihentikan. Bila masyarakat adat dengan pengetahuannya adalah penjaga hutan yang terbaik, apa yang dapat kita pelajari dari mereka?
Dorthea Wabiser: Tentu ada! Masyarakat adat memiliki kekayaan intelektual yang dikenal dengan Traditional Ecological Knowledge yang diturunkan dari generasi ke generasi. Untuk memastikan keberlangsungan hidup, mereka sudah mempraktikkan aktivitas yang menjaga dan memastikan agar hutan dan tanah tetap baik.
Misalnya, cerita tentang sagu yang telah saya ceritakan. Mereka terus menanam pohon sagu agar anak cucu mereka bisa memiliki makanan yang cukup di masa depan. Mereka berburu menggunakan kalender musim sehingga mereka tidak sembarangan memburu hewan dalam jumlah yang banyak. Mereka memberikan waktu untuk hewan dan tumbuhan untuk beregenerasi, sehingga kehidupan di dalam hutan terus berlangsung dengan baik.
Afsya. Sebuah film tentang masyarakat adat yang melindungi hutan hujan https://www.regenwald.org/news/12416/die-afsya-ein-film-ueber-indigene-die-den-regenwald-verteidigen
Video AFYSA. Membela Hutan Adat https://www.youtube.com/watch?v=eCFPEzXiTgU&t=423s
suku Afsya berhasil melindungi 40.000 hektar hutan
Masyarakat adat Afsya menyelamatkan 40.000 hektar hutan hujan di Papua Barat Daya! https://www.regenwald.org/news/12308/die-indigenen-afsya-retten-40000-hektar-regenwald-in-west-papua
Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC)
Free, Prior and Informed Consent = Prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan, sebuah langkah perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat
ILO-Convention 169 (Konvensi Perlindungan Hak Masyarakat Adat)
International Labour Organization: ILO-Convention 169 tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat (ILO-169) https://www.ilo169.de/
UNDRIP (Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) https://www.ohchr.org/en/indigenous-peoples/un-declaration-rights-indigenous-peoples
Industri berbasis lahan menghancurkan hutan Papua Selatan.
Hutan kabupaten Merauke telah rusak berat - disebabkan oleh proyek-proyek raksasa yang tidak memahami ekologi dan mengabaikan hak masyarakat adat, contohnya proyek lumbung pangan dan energi (MIFEE dan Food Estate). Tidak heran - proyek-proyek itu hanya meninggalkan bencana lingkungan, manusiawi dan sosial.
lihat juga: Siaran Pers Pusaka Hentikan Proyek Cetak Sawah
Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan, Food Estate atau Cetak Sawah PSN Merauke, yaitu perkebunan tebu dan pabrik bioetanol, diperkirakan akan menggunakan tanah dan hutan adat seluas lebih dari 2 juta hektar.
„Merauke Intergrated Food and Energy Estate“ (MIFEE)
Tahun 2010 MIFEE secara resmi dimulai. Sebuah proyek agraria besar yang direncanakan memproduksi sawit bagi sektor energi dan beras bagi sektor bahan pangan. MIFEE boleh dikatakan gagal.
https://www.hutanhujan.org/petisi/1000/selamatkan-hutan-papua#more
AWYU di website Selamatkan Hutan Hujan: