Alih-alih membentengi konservasi alam, perkuat masyarakat adat

Ibu Mrema membaca petisi 1263 Sekretaris Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati Elizabeth Maruma Mrema (© Rettet den Regenwald / Mathias Rittgerott) Kolase Logo-logo COP 15 © frei

8 Des 2022

Pesan sudah jelas dan telah sampai di Perserikatan Bangsa-Bangsa: Adalah salah dan berisiko upaya hingga tahun 2030 nanti mengubah 30 persen wilayah bumi menjadi kawasan lindung, demi perlindungan keanekaragaman hayati. 65.014 orang telah menandatangani petisi yang menolak rencana "30 x 30" ini. Petisi tersebut telah kami serahkan pada hari kamis semasa Konferensi Biodiversitas di Montréal.

30 persen luas bumi dijadikan kawasan lindung, terdengar luar biasa. Tapi sebenarnya berbahaya. Menurut penafsiran seperti itu alam hanya bisa dilindungi jika manusia jauh darinya, namun kenyataannya jika masyarakat setempat digusur“, demikian Marianne Klute, ketua Selamatkan Hutan Hujan.

„300 juta perempuan, laki-laki dan anak-anak akan terancam oleh „30 by 30“, banyak dari mereka merupakan anggota masyarakat adat. Penggusuran atas nama perlindungan alam membuat para pelindung hutan hujan yang gigih itu menderita, sebab alam akan terjaga lebih baik dibanding di wilayah lain, jika masyarakat adatlah yang bertanggung jawab atas wilayahnya. Adakah guna kawasan lindung bagi alam? Sangat disangsikan. Meski jumlah kawasan lindung membludak, tapi biodiversitas menyusut. Dari pada konsep yang meragukan, seperti memperketat penjagaan taman nasional, lebih baik konferensi ini membahas penjaminan hak-hak masyarakat adat.“

Kawasan lindung seperti taman nasional sering kali mengikuti konsep kuno "benteng konservasi alam", yang memisahkan dengan tegas manusia dan alam. Ini justru menjadikan perampasan tanah terbesar dalam sejarah, yang tidak berguna bagi perlindungan spesies.

Alih-alih terfokus pada kawasan lindung, berbagai organisasi menuntut 196 negara peserta Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Sebab alam akan terjaga lebih baikdibanding wilayah lainnya, jika masyarakat adatlahyang bertanggung jawab atas wilayahnya.

Sekretaris Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati, Elizabeth Maruma Mrema pada saat penyerahan petisi setuju dengan beberapa pernyataan. Dia juga berpendapat bahwa masyarakat adatlah penjaga alam yang sebenarnya. Mereka perlu lebih banyak dilibatkan, termasuk pada konferensi seperti COP. "Saya ingin sekali melihat mereka lebih banyak lagi di sini," katanya.

Target 30 persen tidak boleh dimengerti secara terpisah dan punya arti bila diikuti berbagai tindakan lainnya. Elizabeth Maruma Mrema berjanji pada saat pembicaraan dia nanti akan menunjukkan risiko pandangan sepihak tentang kawasan lindung. "Saya akan menyampaikan pesan itu," katanya. ("Aku akan menanam benih").

Petisi ini didukung oleh 15 organisasi lingkungan hidup dan hak asasi manusia dari Afrika dan Asia, dan ditujukan kepada PBB dan negara-negara anggota PBB.

"Rencana hingga tahun 2030 menjadikan 30 persen wilayah bumi sebagai kawasan lindung tanpa memandang hak tanah masyarakat adat, dapat menghancurkan hubungan antara konservasi alam dan alam. Jika Anda menggusur masyarakat adat, (....) Anda menghancurkan ekologi," kata Pacifique Mukumba dari organisasi adat CAMV (DRC).

„Rencana „30 by 30“ berarti, kalau saja rencana ini disetujui, bencana bagi hutan hujan yang masih tersisa di dunia“, demikian peringatan Dr. Martins Egot, direktur eksekutif Development Concern di Nigeria.

„Kalau orang dengan intensif mengamati alam dan keanekaragaman hayati, maka ia akan mengetahui bahwa masyarakat adat mempunyai pengetahuan dan praktik tradisional yang sangat penting bagi pemanfaatan keanekaragaman hayati berkelanjutan. Inilah yang tidak dilibatkan dalam konsep „30 persen wilayah bumi menjadi kawasan lindung“. Sebab konsep ini nampak hanya mementingkan kepentingan politik," kata Maxwell Atuhura, Tasha Research Institute Africa (TASHA) Uganda.

„Model perampasan lahan masa depan ini harus dihentikan. Di negara kami proyek seperti ini akan membawa masyarakat adat dan komunitas masyarakat setempat ke arah ketidak pastian absolut. Proyek mengerikan ini betul-betul harus ditentang“, ujar Ladislas Désiré Ndembet dari organisasi Synaparcam di Kamerun.

„Jika proyek ini dilaksanakan, penduduk asli akan kehilangan hak atas hutan. Padahal di dalam hutan itu mereka sebagai penduduk asli sudah hidup sejak generasi! Juga bentuk ekonomi „tradisi“ seperti ladang berpindah atau nomadisme pengembala tidak akan diterima lagidi sini”, kritik Matek Geram dari organisasi masyarakat adat SADIA di Malaysia.

„Masyarakat adat sejak berabad-abad hidup harmonis dengan alam. Mereka adalah penjaga hutan dan biodiversitas yang masih tersisa di dunia. Karena itu masyarakat adat harus ditempatkan secara fokus dalam berbagai rencana perlindungan, juga di wilayah lindung“, ujar Mardi Minangsari, direktur eksekutif organisasi Kaoem Telapak di Indonesia.

„Menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan wilayahnya, cara hidup mereka dan memastikan suara mereka terdengar dalam setiap proses mengambil keputusan adalah kunci untuk melindungi hutan dan biodiversitas dunia.“

Selamatkan Hutan Hujan hadir dalam keseluruhan acara COP 15 di Montréal yang berlangsung hingga 19 Desember, dan terus memonitor perundingan perjanjian biodiversitas yang baru.

 

Organisasi-organisasi di balik petisi ini termasuk WALHI Sulawesi Selatan, WALHI Papua, Aceh Wetland Foundation, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Save Our Borneo, Kaoem Telapak (keenamnya di Indonesia), Devcon, WATER, RRDC (ketiganya di Nigeria), RIAO-RDC, CAMV (keduanya di Republik Demokratik Kongo), Synaparcam (Kamerun), TASHA (Uganda), TEST (Tanzania), SADIA (Malaysia).

Halaman ini tersedia dalam bahasa berikut:

Pesan buletin kami sekarang.

Tetap up-to-date dengan newsletter gratis kami - untuk menyelamatkan hutan hujan!